Saat ini, kata “Tasikmalaya” dipergunakan untuk dua nama hierarki pemerintahan daerah. Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom yang dipimpin oleh seorang bupati dengan luas wilayah sekitar 2.508,91 km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini bernama Sukapura yang didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun Alif, bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang (van der Chjis, 1880: 80-81). Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom yang dipimpin oleh seorang wali kota dengan luasnya sekitar 177,79 km2 yang dikukuhkan pada 17 Oktober 2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya meliputi tiga kecamatan bekas Kota Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang, dan Cipedes; serta lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu: Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum (Indonesia, 2001; Marlina, 2007: 98). Berdasarkan sensus tahun 2000, Kota Tasikmalaya berpenduduk sekitar 528.216 jiwa sehingga kepadatannya mencapai 2.971 jiwa/km. Kepadatan penduduk di pusat Kota Tasikmalaya (Cihideung, Tawang, dan Cipedes) mencapai lebih dari 7.800 jiwa/km (Santoso [ed.], 2004: 333).
Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi, keberadaan Kota Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota tersebut dibentuk. Pada masa kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan pertumbuhan yang dinamis seiring dengan perubahan fungsi kota dari sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan (residentie). Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan, wilayah Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di lain pihak, opini umum menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan hasil dinamis dari perkembangan Kabupaten Sukapura.
Pertumbuhan Kota Tasikmalaya penting untuk diteliti karena sampai sekarang kota tersebut menjadi barometer di wilayah Priangan Timur (Santoso [ed.], 2004: 337). Dalam makalah ini, tidak semua aspek yang menjadi indikator pertumbuhan sebuah kota akan dikaji, tetapi dibatasi pada tiga permasalahan, yaitu: pertama, kapan nama Tasikmalaya mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan kolonial?; kedua, apakah Distrik Tasikmalaya merupakan wujud perubahan dari Distrik Tawang?; ketiga, apakah pertumbuhan Kota Tasikmalaya terkait dengan perkembangan Kabupaten Sukapura?
B. Tasikmalaya: Tinjauan Etimologis
Ada dua keterangan yang menerangkan asal-usul nama Tasikmalaya dan kedua keterangan tersebut menunjukkan bahwa Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari dua kata. Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang berasal dari kata tasik jeung laya yang memiliki makna keusik ngalayah atau hamparan pasir sebagai akibat letusan Gunung Galunggung tahun 1822. Kedua, Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata tasik yang artinya telaga, laut, atau air yang menggenangi; dan malaya yang memiliki arti jajaran gunung-gunung. Toponimi ini mengandung makna bahwa keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan laksana air laut (banyaknya) (Permadi, 1975: 3). Gunung-gunung tersebut ada yang terbentuk sebelum dan sesudah Gunung Galunggung meletus tahun 1822. Secara geologis, letusan tersebut mengakibatkan terciptanya jurang terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke arah timur Gunung Galunggung. Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, bermunculanlah bukit-bukit kecil (hillocks) yang berjumlah sekitar 3.648 buah. Bukit-bukit kecil itulah yang kemudian memperkuat ciri khas geogafis daerah Kota Tasikmalaya (Furuya, 1978: 591-592; Zen, 1968: 62; ).
Berdasarkan uraian tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama Tasikmalaya itu lahir dan mulai dipergunakan dalam administrasi pemerintahan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822 (Ekadjati et al., 1975: 5; Marlina, 2007: 36). Sulit untuk menerima pendapat bahwa Tasikmalaya mulai dipergunakan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822. Memang dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya belum dipergunakan sebagai nama sebuah distrik, yakni wilayah pemerintahan yang berada di bawah kabupaten (de la Faille, 1895: 53). Akan tetapi, tahun 1820 nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan Hindia Belanda dengan nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal (Statistiek van Java. 1820). Pada akhir tahun 1830-an, nama distrik tersebut menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten…1839). Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan antara tahun 1816-1820 atau pada masa awal Pemerintahan Komisaris Jenderal Hindia Belanda. Hal tersebut seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa nama Tasikmalaya mulai dipergunakan sebelum Gunung Galunggung meletus tahun 1822 dan penamaan tersebut semakin menguat setelah peristiwa alam itu terjadi (Roswandi, 2006: 232).
C. Distrik Cicariang menjadi Distrik Tasikmalaya
Kalau memang nama Tasikmalaya baru dipergunakan antara tahun 1816-1820, lantas wilayah yang sekarang bernama Kota Tasikmalaya itu sebelumnya bernama apa? Selain itu, apakah nama Distrik (Kota) Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari nama wilayah tersebut?
Sebelum bernama Tasikmalaya, wilayah ini bernama Tawang, Galunggung, atau Tawang-Galunggung. Tawang diambil dari kata sawang, yakni tempat luas yang terbuka yang dalam bahasa Sunda dapat diartikan juga sebagai tempat palalangon yang bermakna memiliki makna sebagai tempat panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu (Ekadjati et al., 1975: 3; Musch, 1918: 202; Permadi, 1975: 3). Sekarang, Tawang merupakan salah satu nama kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pusat Kota Tasikmalaya. Sementara itu, nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada Tawang karena sebagai nama sebuah kabuyutan. Sampai awal abad ke-19, wilayah Galunggung yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya sekarang, merupakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang (de la Faille, 1895: 123). Ketika kabupaten ini dibubarkan oleh Daendels tahun 1811, wilayah Galunggung dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kabupaten Sumedang.
Ketika sistem distrik diperkenalkan dalam birokrasi tradisional, maka daerah Tawang pun berubah status menjadi Distrik Tawang dan pada waktu pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura berkedudukan di Manonjaya (1839-1901), Distrik Tawang merupakan salah satu distrik di wilayah Kabupaten Sumedang (Marlina, 1972: 6; Sastrahadiprawira, 1953: 182). Oleh karena itu, penggunaan nama Tasikmalaya merupakan suatu upaya bagi pengubahan nama Tawang atau Tawang-Galunggung (Roswandi, 2006: 232). Betulkah seperti itu?
Dalam Verslag Omtrent de Residentie Preanger-Regentschappen en Krawang 1816, Raffles membagi wilayah ini berdasarkan sistem distrik yang dipimpin oleh seorang wedana. Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa beberapa distrik, antara lain Ciawi, Pagerageung, Rajapolah, Indihiang, Cicariang, dan Singaparna. Sementara itu, di Kabupaten Sukapura tidak terdapat wilayah yang bernama Distrik Tawang atau Distrik Galunggung.
Distrik Cicariang merupakan wilayah pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi Distrik Tasikmalaya karena secara geografis, wilayah pemerintahan Distrik Cicariang hampir sama dengan wilayah pemerintahan Distrik Tasikmalaya. Hal tersebut diperkuat dengan data statistik yang dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1820, Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa distrik, salah satunya bernama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal dan pusat pemerintahannya di Tasjikmalaija en Tjitjariang (Statistiek van Java. 1820). Kedudukan Tasikmalaya dan Cicariang sebagai hoofdplaats van het Distrikt Tassikmalaija op Cicariang tercatat dalam peta Distrik Tasikmalaya awal abad ke-19.
Pada akhir tahun 1830-an, nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang menghilang. Dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda yang ada adalah Distrikt Tasjikmalaija yang mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten…1839,). Pada pertengahan abad ke-19, Distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tujuh onderdistrik, yaitu onderdistrikten Sambong, Siloeman, Tjibodas, Tjisangkir, Tjihideung, Pagaden, Mangkoeboemi, en Tjibeuti (Veth, 1869: 906.). Kedudukan Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan distrik dan ketujuh onderdistrik lainnya tercatat dalam dalam Algemeen Atlas van Nederlandsch Indië yang dibuat tahun 1857 (van Carbee en Versteeg, 1853-1862).
Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Distrik Tasikmalaya bukan merupakan perubahan nama dari Distrik Tawang, melainkan perubahan dari Distrik Cicariang. Perubahan tersebut tidak dilakukan secara langsung melainkan setahap demi setahap. Hal tersebut dapat dilihat dari penggunaan nama distrik (Tjitjariang – Tassikmalaija op Tjitjariang – Tasikmalaja). Demikian juga dengan lokasi pusat pemerintahannya, pada awalnya tidak hanya berkedudukan di Tasikmalaya, melainkan juga di Cicariang.
D. Dari Kota Distrik menjadi Kota Kabupaten
Dalam tulisannya berjudul Sukapura (Tasikmalaya), Ietje Marlina (2000: 91-110) memandang Kota Tasikmalaya sebagai bagian dari pertumbuhan Kabupaten Sukapura. Pendapat ini kemudian menjadi opini umum seperti yang terlihat dari beberapa tulisan mengenai Kota Tasikmalaya (Adeng, 2005; Roswandi, 2006). Sejatinya, pembahasan mengenai Kota Tasikmalaya harus dibedakan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Nama pemerintahan yang terakhir memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi Kabupaten Sukapura karena pada kenyataannya Kabupaten Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari Kabupaten Sukapura. Uraian mengenai Kota Tasikmalaya harus dilihat sebagai bagian dari perkembangan Kabupaten Sumedang.
Ketika Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang mulai dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan, Kota Tasikmalaya berkedudukan sebagai pusat pemerintahannya bersama-sama dengan Tjitjariang. Kedudukannya tersebut tidak berubah sampai sistem distrik dihapus pada masa Pemerintahan Republik Indonesia. Pada 1862, Pemerintah Hindia Belanda memperkenalkan sistem afdeeling dalam struktur pemerintahan kabupaten. Tujuannya adalah untuk mengurangi kekuasaan bupati karena pemerintahan sehari-hari di wilayah afdeeling dijalankan oleh hoofd van plaatselijke bestuur (setingkat asisten residen) yang didampingi oleh zelfstandige patih atau patih afdeeling (Indonesia, 1953: 157-158; Lubis, et al., 20031: 340). Sistem afdeeling diberlakukan terhadap kabupaten yang memiliki wilayah cukup luas. Salah satu kabupaten di Residentie Preanger-Regentschappen yang memiliki wilayah cukup luas adalah Kabupaten Sumedang sehingga berdasarkan sistem afdeeling tersebut, wilayahnya dipecah menjadi dua afdeeling. Pertama, Afdeeling Baloeboer op Noord Soemedang yang terdiri atas 6 distrik, 39 onder distrik, dan 209 desa. Kedua, Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang yang terdiri atas 5 distrik, 41 onder distrik, dan 254 desa. Afdeeling Baloeboer memiliki wilayah sepanjang 16,93 Geographische Mijlen atau 650 pal sedangkan Afdeeling Galoenggoeng memiliki panjang wilayah sekitar 15,85 Geographische Mijlen atau sekitar 383 pal (Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863). Pusat pemerintahan Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang terletak sekitar 7 pal dari kota Manonjaya, ibu kota Kabupaten Sukapura, dan sekitar 55 pal dari kota Sumedang, ibu kota Kabupaten Sumedang (Veth, 18693: 906).
Perubahan struktur pemerintahan ini membawa dampak pada status Kota Tasikmalaya, karena sejak Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang dibentuk, Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats der district melainkan juga sebagai hoofdplaats der afdeeling. Dengan demikian, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana, melainkan juga menjadi tempat tinggal asisten residen sebagai hoofd van plaatselijke bestuur dan zelfstandige patih. Kenyataan tersebut menarik untuk diteliti lebih mendalam karena jarak Kota Tasikmalaya ke Kota Sumedang relatif lebih jauh, tetapi berkedudukan sebagai kedudukan zelfstandige patih sebagai wakil Bupati Sumedang dalam menjalankan roda pemerintahan sehari-hari. Kota Tasikmalaya justru lebih dekat ke Kota Manonjaya yang pada waktu berkedudukan sebagai pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura.
Pada tahun 1870 Preangerstelsel dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda, kecuali untuk penanaman kopi. Satu tahun kemudian, Pemerintah Hindia Belanda menata ulang wilayah administrasi Preanger Regentschappen atau yang dikenal dengan nama Preanger Reorganisatie. Dalam reorganisasi itu, Residentie der Preanger Regentschappen dibagi menjadi sembilan afdeeling yang dipimpin oleh seorang asisten residen. Sebagian afdeeling bersatu dengan kabupaten sehingga pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh bupati dan asisten residen; sebagian lagi berdiri sendiri sehingga pemerintahan dijalankan oleh patih afdeeling dan asisten residen (Lubis, 1998: 33; Natanagara, 1937: 114). Berdasarkan reorganisasi itu, nama Afdeeling Galoenggoeng Zuid op Soemedang diganti menjadi Afdeeling Tasjikmalaija dengan wilayah administrasi pemerintahannya tidak mengalami perubahan, termasuk pusat pemerintahannya masih berkedudukan di Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië tanggal 1 September 1901. No. 4, terhitung sejak 1 Desember 1901 Afdeeling Tasikmalaya dihapus dan wilayahnya dimasukkan ke tiga kabupaten. Distrik Ciawi, Indihiang, Tasikmalaya, dan Singaparna dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sukapura; Onderdistrik Malangbong Kulon dan Lewo (Distrik Malangbong) dimasukkan ke wilayah Kabupaten Limbangan; dan Onderdistrik Cilengkrang dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sumedang. Seiring dengan itu, pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura pun dipindahkan ke Kota Tasikmalaya yang telah dimulai sejak tanggal 1 Oktober 1901, tetapi baru dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada 1 Desember 1901 (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor het Jaar 1901. No. 327). Perintah pemindahan tersebut disebabkan oleh pertama, letak Kota Tasikmalaya yang strategis terutama jika dikaitkan dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda; dan kedua, Kota Tasikmalaya lebih berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan Kota Manonjaya (Marlina, 2007: 92).
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Kabupaten Sukapura menjadi Kabupaten Tasikmalaya (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor het Jaar 1913. No. 356). Demikian juga dengan nama Afdeeling Sukapura diubah menjadi Afdeeling Tasikmalaya. Sejak saat itu, Tasikmalaya menjadi pusat pemerintahan beberapa hierarki pemerintahan daerah, antara lain Afdeeling Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Controle-Afdeeling Tasikmalaya, Distrik Tasikmalaya, dan Onderdistrik Tasikmalaya. Pada 1921, Distrik Tasikmalaya memiliki luas sekitar 178 km2 yang dibagi menjadi tiga onderdistrik, yaitu Tasikmalaya, Kawalu, dan Indihiang; serta dengan jumlah desa sekitar 46 buah (Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie, 19214: 285; Regeeringsalmanak voor NI, 19191: 394).
Dalam kurun waktu 1926-1931, kedudukan Kota Tasikmalaya semakin penting karena menjadi pusat pemerintahan Afdeeling Oost-Priangan. Bentuk pemerintahan ini merupakan implementasi dari Bestuurshervormingwet tahun 1922 yang membagi Keresidenan Priangan menjadi tiga afdeeling, yaitu Afdeeling West-Priangan, Midden-Priangan, dan Oost-Priangan yang masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Afdeeling Oost-Priangan meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis (Regeeringsalmanak voor NI, 19301: 327-336). Seiring dengan penghapusan Afdeeling Oost-Priangan tahun 1931, fungsi Kota Tasikmalaya kembali mengalami perubahan karena tidak lagi kedudukan residen.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, Tasikmalaya telah dipergunakan sebagai nama suatu wilayah pemerintahan antara tahun 1816-1820. Sebelum kurun waktu itu, nama yang dikenal adalah Tawang, Galunggung, atau Tawang-Galunggung. Ketika Gunung Galunggung meletus tanggal 8 dan 12 Oktober 1822, nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan.
Kedua, penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan perubahan dari Distrik Tawang karena dari berbagai sumber arsip distrik tersebut tidak pernah tercatat. Pada masa Raffles (1816) di wilayah Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang. Oleh Komisaris Jenderal Hindia Belanda, nama tersebut diubah menjadi Distrikt Tassikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir tahun 1930-an, nama distrik tersebut berubah lagi menjadi Distrikt Tassikmalaija. Setelah berubah, Cicariang menjadi sebuah onderdistrik dengan nama Cibeuti dengan pusat pemerintahannya di Cibeuti.
Ketiga, pertumbuhan Kota Tasikmalaya bukan sebagai bagian dari perkembangan Kabupaten Sukapura, melainkan sebagai bagian dari dinamika Kabupaten Sumedang. Baru pada tahun 1901, Kota Tasikmalaya merupakan bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang kemudian namanya berubah menjadi kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, pertumbuhan Kota Tasikmalaya dapat dilihat dari fungsi kota yang semula berkedudukan sebagai kota distrik yang berkembang sedemikian rupa sehingga berkedudukan sebagai kota kabupaten dan keresidenan.
DAFTAR SUMBER
Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. 1861. Eerste Deel (A-J). Amsterdam: van Kamp.
Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten behalve de Gestelijkeheid in de Residentie Preanger Regentschappen met vermelding van derzelver inkomsten in 1839.
Brandes, J. 1888. “Drie Koperen Platen uit den Mataramschen Tijd”. TBG, XXXII.
de Graaf, H. J. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram; Politik Ekspansi Sultan Agung. Terj. Pustaka Grafiti Utama dan KITLV. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama.
de Haan, F. 1912. Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deerde Deel. Batavia: G. Kolff & Co.
de la Faille, P. de Roo. 1895. Preanger-Schetsen. Batavia: G. Kolff & Co.
Dienaputra, Reiza D. 2004. Cianjur: Antara Bandung dan Buitenzorg. Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942. Bandung: Prolitera.
Ekdjati Edi S. et al. 1975. Hari Jadi Tasikmalaya. Cetakan Pertama. Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. 1921. Tweede Druk. Veerde Deel (Soemb – Z). s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Furuya, Takahiko. “Preliminary Report on Some Volcanic Disasters in Indonesia” dalam South East Asian Studies. Vol. 15. No. 4. Tahun 1978.
Hardjasaputra, A. Sobana. “Hari Jadi Kabupaten Bandung 16 Juli”. Galamedia, 20 Februari 2007.
————–. 1989. Bandung in the Earlier Nineteenth Century (ca. 1810-1850). Clayton, Vic. : Monash University.
Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
————–. 2001. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Tasikmalaya. Jakarta: Sekretariat Negara.
Indonesia. Kementrian Penerangan. 1953. Propinsi Djawa Barat. Djakarta: Dewaruci Press.
Kleine, Jacoub Wouter. 1931. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking. Delft: Drukkerij J. Waltman Jr.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1042). Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad.
Marlina, Ietje D. Dirapradja. 1972. Berdirinya Kabupaten Sukapura dan Perkembangannya. Skripsi Sarjana. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
————–. 2000. “Sukapura (Tasikmalaya)” dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Hlm. 91-110. Jatinangor: AlqaPrint.
————–. 2007. Perubahan Sosial di Tasikmalaya; Suatu Kajian Sosiologis Sejarah. Bandung: AlqaPrint.
Musch, C. C. 1918. Topographisen Dienst in Nederlandsch Indie over 1917. Dertiende Jaargang. Batavia.
Natanagara, Rd. Asik. 1937. “Sadjarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg Nepi ka Kiwari” dalam Volksalmanak Soenda. Batavia: Kolff.
Permadi, Agus. “Prasasti Geger Hanjuang; Ngahanjuang-siangkeun Hari Jadi Tasikmalaya” dalam Mangle No. 495, September 1975.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië. 1919; 1925; 1930. Eerste Gedeelte: Grondgebied en Bevolking, Inrichting van het Bestuur van Nederlandsch-Indië en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.
Roswandi, Iwan. 2006. “Sejarah Kabupaten Tasikmalaya; Studi tentang Berdiri dan Berkembangnya Pemerintahan Tasikmalaya” dalam Iim Imanuddin dan Sindu Galba (eds.). Sejarah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Banten: Garut-Subang-Bekasi-Tasikmalaya-Tangerang. Bandung: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Santoso (ed.), F. Harianto 2004. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jilid 4. Jakarta: Buku Kompas.
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1953. “Manondjaja Dajeuh Narikolot” dalam R. I. Adiwidjaja. Pantjawarna. Djakarta: Balai Pustaka.
Staatsblad van Nederlandsch-Indië. Jaar 1859. No. 91; 1871. No. 122; 1901. No. 327. 1913. No. 356.
Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863.
Statistiek der Residentie Preanger-Regentschappen. Jaar 1837.
Statistiek van Java. 1820.
van Carbee, P. Baron Melvill en W. F. Versteeg. 1853-1862. Algemeene Atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: van Haren Noman & Kolff.
van der Chjis, J. A. 1880. Babad Tanah Pasundan. Terj. Raden Karta Winata. Batavia: Kantor Citak Gupernemen.
Veth, P. J. 1869. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. Deerde Deel (R-Z). Amsterdam: van Kamp.
Widjajakusumah, R. D. Asikin. 1961. “Tina Babad Pasundan; Riwayat Kemerdekaan Bangsa Sunda Saruntangan Kerajaan Padjadjaran dina tahun 1580” dalam Kalawarta Kudjang. Bandung.
Zen, M. T. “Seribu Gunung di Priangan Timur” dalam Majalah Intisari. No. 6. Agustus 1968.
No comments:
Post a Comment