Periode Setelah Masuknya Agama Islam
Masyarakat Kuningan menganut agama Hindu dan merupakan Daerah otonom yang masuk wilayah kerajaan Sunda yang dikenal dengan nama Pajajaran, seluruh Jawa barat termasuk Cirebon pada tahun 1389 M masuk bagian dari Pajajaran dengan pelabuhannya saat itu meliputi Cirebon, Indramayu, Karawang, Sunda Kelapa dan Banten.
1. Waktu Cirebon dibawah pimpinan Ki Gedeng Jumajanjati anaknya Ki Gedeng Kasmaya, datanglah pelaut Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho ( Cheng Ho) dan sebagai rasa terimakasihnya atas sambutan rakyat Cirebon, maka dibuatlah Mercusuar di Pelabuhan Cirebon itu.
Setelah itu Pelabuhan Cirebon kedatangan seorang ulama Islam yang bernama Syekh Idhofi ( Syekh Datuk Kahfi ) yang dikenal dengan julukan Syeh Nuruljati. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren dikaki bukit Sembung dan menetap di Pesambangan ( Desa Jatimerta). Salah satu murid ulama ini ada yang bernama Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan mendirikan sebuah kota bernama Caruban yang kemudian dikenal dengan nama Cirebon. Setelah ia berhaji mendapat julukan Haji Duliman yang akhirnya memimpin pemerintahan di Cirebon.
2. Saat itu di pelabuhan Karawang datang juga seorang ulama yang bernama Syekh Hasanuddin dari Campa dan dikenal dengan sebutan Syekh Quro karena mendirikan pesantren Quro. Dikemudian hari pesantren ini kedatangan Syekh Maulana Akbar yang meneruskan perjalanannya ke Pesambangan.
Dalam perjalanannya mengembangkan Islam, Syekh Maulana Akbar ini pernah singgah sebentar di daerah Buni Haji – Luragung , kemudian melanjutkannya sampai ke daerah Kuningan yang pada waktu itu dikenal dengan nama Kejene (artinya Kuning) , penduduknya menganut agama Hindu ( Agama Sanghiang), dengan pusat pemerintahannya di daerah Sidapurna yang artinya sempurna.
Syech Maulana Akbar akhirnya menetap disana dan mendirikan pesantren di Sidapurna serta menikah dengan seorang putri pejabat pemerintahan Kejene dan mempunyai seorang putra bernama Syekh Maulana Arifin atau syekh Arif. Karena pesatnya kemajuan pesantren ini sehingga tidak cukup menampung para pendatang, maka dibuatlah pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama Purwawinangun ( Artinya mula-mula dibangun ). Syekh Maulana Akbar ini meninggal dan dimakamkan di Astana Gede.
Syekh Arif ini meneruskan usaha yang telah dirintis oleh ayahnya dengan memajukan bidang peternakan, terutama peternakan kuda yang khas di Kejene ( kuda Kejene yang kemudian terkenal dengan sebutan Kuda Kuningan ), Syeh Maulana Arifin ini kemudian menikah dengan Ratu Salawati Putri dari seorang penguasa Kajene
2. Syarif Abdullah menikah dengan Rara Santang atau Syarifah Modarin putri Prabu Siliwangi dan mempunyai putra bernama Syarif Hidayatullah, Sesudah dewasa oleh ayahnya disuruh datang ke Daerah Surabaya -Jawa Timur untuk berguru kepada seorang ulama besar Islam yaitu Sayid Rahmat atau Sunan Ngampel yang memimpin daerah Ampeldenta. Kemudian Syarif Hidayatullah oleh Sunan Ngampel ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Jawa barat dan dimulai dari Cirebon pada tahun 1470 M. Pada tahun 1479 M Haji Abdullah Imam berkenan menyerahkan kedudukan Kepala Pemerintahan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah, setelah menikahi putrinya yang kemudian bergelar Susuhunan Jati atau dikenal dengan ” Sunan Gunung Jati ”.
3. Terdorong hasrat untuk menyebarkan Islam,pada tahun 1481 M Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (SGJ) datang ke Luragung . Waktu itu yang memimpin pemerintahan di Luragung adalah Ki Gedeng Luragung ,beliau masih saudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon dan akhirnya Masuk Agama Islam.
Pada waktu itu juga datang Ong Tien putri dari Cina yang sedang mengandung menyusul ke Luragung kemudian melangsungkan pernikahan dengan SGJ. Ong Tien tersebut kemudian berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Somanding.
SGJ bersama istrinya Ong Tien sepakat untuk memungut putra Ki Gedeng Luragung (yang masih bayi) sebagai putranya, Sebagai imbalannya Kigedeng Luragung diberikan ”Bokor Kuning” yang dikeluarkan dari kandungan Ong Tien oleh SGJ. Kemudian SGJ bersama Ongtien dan anak angkatnya yang diberi nama ”Sang Adipati” berangkat menuju Kejene yang pada waktu itu dipimpin oleh Pangeran Aria Kamuning dan masih menganut Hindu Budha.
Setelah Pangeran Aria Kamuning masuk Islam dan Ong Tien meninggal dunia pada tahun 1485 M Sang Adipati dipercayakan kepada Pangeran Aria Kamuning untuk dididiknya dengan baik. Selama Sang Adipati belum dewasa maka pangeran Aria Kamuning ditunjuk oleh SGJ sebagai Kepala Pemerintahan Perwakilan di Kejene dibawah Kerajaan Cirebon.
4. Setelah Sang Adipati berusia 17 tahun, tepatnya tanggal ” 1 September 1498 M , beliau dinobatkan sebagai Kepala Pemerintahan Kuningan dan diberi gelar Sang Adipati Kuningan. Dengan berdirinya Negera /Kerajaan Kuningan dibawah Sang Adipati, maka sejak tanggal penobatannya nama suatu daerah yang semula bernama Kejene kemudian diganti dan dikembalikan lagi kenama aslinya yaitu ” Kuningan”.
Beberapa waktu setelah penobatan Sang Adipati datang seorang tokoh untuk berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon yang berasal dari daerah bawahan Pajajaran yang bernama Dipati Ewangga yang disebut juga Dipati Cangkuang. Sesudah ilmunya cukup, ia ditugaskan oleh SGJ untuk turut membantu penyebaran Islam dan mengatur Pemerintahan Kuningan. Sang Adipati juga dibantu oleh Rama Jaksa yang terkenal ahli dalam membuat senjata. Petilasan Rama jaksa ditemukan di suatu tempat di Desa Winduherang.
Selain itu Sang Adipati juga mendapat bantuan dua orang juru dakwah yang dikirim SGJ yaitu Pangeran Purwajaya dan Pangeran Purwaganda yang datang ke Kuningan disertai dengan rombongan kesenian.
Dengan bantuan 4 tokoh tersebut dan Pangeran Aria Kamuning, Sang Adipati melakukan penyebaran Islam kesebelah timur, selatan , barat sampai ke Talaga dan Rajagaluh ( Benteng pertahananan terakhir) dari kerajaan Hindu sekitar Cirebon.
5. Untuk lebih meresapkan Agama Islam di kalangan penduduk Kuningan SGJ mengirim lagi Syekh Rama Haji Irengan, ia memilih tempat kediamannya di Darma dan dengan bantuan para wali ia membuat kolam yang sekarang dikenal dengan nama ”balong kancra” atau ”balong keramat” atau ”Darma loka”. Bila diperhatikan bentuk balong itu berliku-liku membentuk lafal Muhammad. Sesudah selesai membuat balong darma para wali sepakat untuk membuat kolam-kolam lainnya dibeberapa tempat yang memiliki sumber mata air seperti : Balong Cigugur, balong Cibulan dan balong Pasawahan. Tidak jauh dari kolam2 itu para wali mendirikan tempat-tempat pesantren untuk melakukan kegiatan pemantapan Agama Islam.
6. Ketika Portugis mau mendirikan benteng ditepi sungai Ciliwung untuk memperkuat pertahanan menghadapi kekuasaan Islam di jawa Barat. Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 M membuat persekutuan dengan Pajajaran untuk menggagalkan usaha Portugis tersebut. SGJ dan Demak setuju untuk menyerang dan menduduki Sunda Kelapa mendahului Portugis. Kemudian datang bala tentara Demak ke Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah( Faletehan) atau Fadhillah Khan . Balatentara yang dipimpin Patahillah itu diperkuat dengan pasukan tambahan dari Cirebon dan dari Kuningan yang dipimpin oleh Dipati Ewangga.
Semua pasukan bertolak dari pelabuhan Cirebon menggunakan kapal laut, mula-mula yang didudukinya adalah Banten terus Fatahillah mengerahkan tentaranya menuju Sunda Kelapa dan berhasil di dudukinya tahun 1527 M. Untuk mengabadikan kenangan itu maka nama Sunda Kelapa diganti menjadi ” Jayakarta”.
Tokoh-tokoh yang turut berjuang dengan Fatahillah banyak yang menetap di Jayakarta, diantaranya Dipati Ewangga bersama para pengikutnya dari Kuningan, yang kemudian membuat pemukiman di daerah itu yang pada akhirnya dikenal dengan nama ”Kampung Kuningan” atau daerah Kuningan – Jakarta.
7. Untuk meningkatkan kembali penyebaran Islam ke daerah pedalaman Jawa Barat pada tahun 1528 M SGJ Mengangkat Putranya yaitu Pangeran Pasarean sebagai pemangku kekuasaan Cirebon. Diantara daerah2 pedalaman yang telah di Islamkan itu adalah Talaga, Sindangkasih ( Daerah Majalengka), Cangkuang ( Garut), Galuh, Ukur, Cibalagung, Pagadingan ( Klungkung Bntar), Indramayu, Batulayang dan Timbanganten.
Dengan dinobatkannya Pangeran Pasarean, Kerajaan Rajagaluh dibawah Prabu Cakraningrat merasa hawatir dan perhatiannya mulai ditujukan ke Cirebon dengan tuntutan agar Cirebon mengakui kekuasaannya dan menghentikan penyebaran Agama islam. Semula Rajagaluh mengirimkan utusan dibawah pimpinan De Dipasara. Tetapi usaha itu dihalang-halangi oleh Sang Adipati Kuningan sehingga terpaksa kembali ke Rajagaluh. Pihak Rajagaluh siap-siap memperkuat pertahanannya di kaki Gunung Gundul, Gempol dan Palimanan yang dipimpin oleh Dipati Kiban. Untuk menghadapi ancaman lawan itu SGJ mendirikan pertahanan di Plered yang dipercayakan untuk dipimpin oleh Sang Adipati Kuningann. Sebelum melakukan serangan langsung Sang Adipati Kuningan berusaha mencari penyelesaian secara damai dan mengirim utusan dibawah pimpinan Demang Singgati untuk menghubungi Rajagaluh. Tetapi usaha itu gagal dan terjadilah pertempuran yang akhirnya Rajagaluh dapat ditundukan. Dalam pertempuran ini Sang Adipati mendapat bantuan dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Ratu Mas Gandasari dan Pangeran Karangkendal.
8. Sang Adipati menikah dengan putri Syekh Maulana Arifin dan mempunyai seorang putra bernama ”Geusan Ulun” yang pada tahun 1570 M dinobatkan menjadi Kepala Pemerintahan Kuningan menggantikan ayahnya yang meninggal pada tahun 1568 M. Setelah dinobatkan beliau bergelar Pangeran Geusan Ulun atau Prabu Geusan Ulun. Beliau mempunyai banyak istri yang berasal dari putri tokoh-tokoh penting yang berpengaruh di daerahnya dan mempunyai anak sebanyak 40 orang.
Pada masa pemerintahan Geusan Ulun, di pulau Jawa ini mulai tumbuh pusat-pusat Kekuasaan baru seperti di Jawa tengah tumbuh kerajaan Mataram yang berhasrat untuk mengembangkan pengaruhnya ke daerah Priangan termasuk Cirebon dan Kuningan, sedangkan disebelah barat, Jayakarta telah jatuh ketangan kekuasaan asing VOC ( Belanda ) dan disana mendirikan kekuasaan yaitu Batavia.
Setelah Geusan Ulun Meninggal tahun 1650 M dan dimakamkan di Astana Gede Kuningan, maka timbul pembagian kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain di pusat kota Kuningan dipegang oleh Dalem Mangkubumi sedangkan yang lainnya sebanyak 28 orang menempati tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama julukannya atau tempat pemakamannya yaitu Dalem :
Mangkubumi dimakamkan di Purwawinangun, Citangtu ,Panyilih, Pasawahan, Koncang, Trijaya, Kasturi, Dago Jaya, Winduherang, Salahonje, Nayapati, Karawang. Amonggati, Cihideung, Cengal,Keko, Paduraksa, Cigugur, Tembong, Cikondang, Cibinuang, Maruyung, Balostrong, Tarka,Haur Kuning, Wirajaya, Mangku, Cigadung dan dalem Cageur.
Adapun Anak Geusan Ulun yang tidak memegang pemerintahan adalah Nyai Panembahan Girilaya, Nyai Kuwu Cirebon Girang, Adipati Ukur, Nyai Gedeng Pamuragan, Nyai Aria Salingsingan, Nyai Musti, Nyai Dalem Sumedang, Dipati Barangbang, Dewi Ratna Campaka, Nyai Gedeng Anggadiraksa dan Nyai Gedeng Jati.
Sesudah Kuningan dibagi dengan 29 Kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh seorang Dalem dari keturunan Geusan Ulun. Daerah Kuningan itu kemudian masuk wilayah kekuasaan Mataram, selanjutnya dengan jatuhnya Cirebon dibawah kekuasaan VOC sejak tahun 1682 M, malapetaka sebagai akibat sistem monopoli VOC juga menimpa rakyat Kuningan.
9. Memasuki abad 19 setelah pembubaran VOC, nasib rakyat tidak menjadi lebih baik dibawah kekuasaan Gupernemen Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Pebruari 1809 M , Daendeles mengeluarkan peraturan mengenai pengurusan tanah-tanah Cirebon dan para Sultan menjadi pegawai Belanda dengan pangkat /jabatan Bupati dan Wedana. Didaerah Kuningan ada beberapa orang Tumenggung yang dibawahi oleh Sultan Kasepuhan antara lain Kuningan dan Cikaso. Kekuasaan para sultan dihapuskan oleh Raffles dan diangkat Bupati-bupati dari pegawai biasa dalam pemerintahan. Pada tanggal 15 Januari 1819 M, dikeluarkan keputusan Komisaris Jendral No. 23 untuk membentuk Kabupaten Kuningan, tetapi wilayah administrasinya baru meliputi bagian selatan wewengkon Kabupaten Kuningan yang sekarang.
10. Pada abad 20 mulai didirikan sekolah untuk rakyat biasa di Kuningan. Pengaruh kebangkitan nasional lambat laun masuk dan meluas serta menggerakan Rakyat dalam organisasi pergerakan politik dan sosial.
Keruntuhan Hindia Belanda oleh Jepang membuka penderitaan rakyat yang tidak kurang kejamnya dari pada masa sebelumnya, tetapi orang Kuningan dalam keluarga besar bangsa Indonesia dibuat lebih siap untuk menyongsong kemerdekaan. Dalam perjuangan bangsa Indonesia membela proklamasi dan mempertahan NKRI ternyata para pejuang Kuningan dengan dukungan segala lapisan masyarakat mempunyai saham cukup besar. Katakanlah Linggarjati membuat lembaran sejarah nasional, kemudian Ciwaru melakukan peranan penting dibidang perjuangan Pemerintahan sipil dengan dijadikannya Pusat Pemerintahan Karesidenan Cirebon dalam menghadapi agresi I dalam perang kolonial Belanda. Dibidang militer, Sagarahiang selama Agresi I dan II menjadi pusat koordinasi perjuangan dalam perang gerilya.
Dalam Masa RIS rakyat Kuningan memelopori Likwiditas Negara Pasundan untuk mengembalikan Jawa Barat dalam pangkuan RI. Sesudah lewat masa revolusi fisik dan memasuki tahun lima puluhan, masalah politik,ekonomi dan sosial, termasuk kedalamnya situasi keamanan oleh gangguan DI/TII serta kemudian aksi-aksi sepihak yang dihasut oleh agitasi PKI sampai terjadinya kudeta terkenal G30 S/PKI membuat pembangunan terbengkalai. Baru setelah tahun 1966 M sampai dengan sekarang pembangunan baru dapat dilaksanakan dengan lebih baik, tertata dan berkesinambungan, ini semua tentu dalam rangka mengisi arti kemerdekaan dan mensejahterakan masyarakat.
No comments:
Post a Comment