Bandung, yang  berada di tanah parahyangan erat kaitannya dengan kesenian tradisi sunda  dimana terdapat bermacam-macam alat kesenian yang diwariskan salah satu  diantaranya alat kesenian tradisi sunda yang dinamakan sebagai  angklung, alat musik tradisional yang terbuat  dari bambu, yang  dibunyikan dengan cara digoyangkan (bunyi disebabkan  oleh benturan badan  pipa bambu) sehingga menghasilkan bunyi yang  bergetar dalam susunan  nada 2, 3, sampai 4 nada dalam setiap ukuran,  baik besar maupun kecil.  Laras (nada) alat musik angklung sebagai musik tradisi Sunda kebanyakan  adalah salendro dan pelog...
Dalam rumpun kesenian yang menggunakan alat  musik dari bambu dikenal jenis kesenian yang disebut angklung dan  calung,  dimana calung dikenal sebagai alat musik Sunda yang merupakan  prototipe  dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan  cara  digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang  (wilahan,  bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut  titi laras  (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk  pembuatan  calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada  pula yang  dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Adapun  jenis bambu  yang biasa digunakan sebagai angklung adalah awi wulung  (bambu berwarna  hitam) dan awi temen (bambu berwarna putih). Purwa rupa  alat musik  angklung dan calung mirip sama; tiap nada (laras)  dihasilkan dari bunyi  tabung bambunya yang berbentuk wilahan (batangan)  setiap ruas bambu dari  ukuran kecil hingga besar.
Dikenal oleh masyarakat sunda sejak masa kerajaan Sunda, di antaranya sebagai penggugah semangat dalam pertempuran. Fungsi angklung sebagai pemompa semangat rakyat masih terus terasa sampai pada masa penjajahan, itu sebabnya pemerintah Hindia Belanda sempat melarang masyarakat menggunakan angklung, pelarangan itu sempat membuat popularitas angklung menurun dan hanya di mainkan oleh anak- anak pada waktu itu.
Asal  usul terciptanya musik bambu, seperti  angklung dan calung berdasarkan  pandangan hidup masyarakat Sunda yang  agraris dengan sumber kehidupan  dari padi (pare) sebagai makanan  pokoknya. Hal ini melahirkan mitos  kepercayaan terhadap Nyai Sri Pohaci  sebagai lambang Dewi Padi pemberi  kehidupan (hirup-hurip).
Perenungan  masyarakat  Sunda dahulu dalam mengolah pertanian (tatanen) terutama di  sawah dan  huma telah melahirkan penciptaan syair dan lagu sebagai  penghormatan dan  persembahan terhadap Nyai Sri Pohaci, serta upaya  nyinglar (tolak bala)  agar cocok tanam mereka tidak mengundang  malapetaka, baik gangguan hama  maupun bencana alam lainnya. Syair lagu  buhun untuk menghormati Nyi Sri  Pohaci tersebut misalnya:
Si Oyong-oyong
Sawahe si waru doyong
Sawahe ujuring eler
Sawahe ujuring etan
Solasi suling dami
Menyan putih pengundang dewa
Dewa-dewa widadari
Panurunan si patang puluh
Selanjutnya  lagu-lagu persembahan terhadap Dewi Sri  tersebut disertai dengan  pengiring  bunyi tabuh yang terbuat dari  batang-batang bambu yang  dikemas sederhana yang kemudian lahirlah  struktur alat musik bambu yang  kita kenal sekarang bernama angklung dan  calung. ewi Shri atau Dewi  Sri adalah dewi percocok tanaman , terutama  padi dan sawah di pulau  Jawa dan Bali. Ia memiliki pengaruh di dunia  bawah tanah dan terhadap  bulan. Ia juga  dapat mengontrol bahan makanan  di bumi dan kematian.  Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga  dipandang sebagai ibu  kehidupan. Sebagai tokoh yang sangat  diagung-agungkan, ia memiliki  berbagai versi cerita, kebanyakan  melibatkan Dewi Sri (Dewi Asri, Nyi  Pohaci) dan saudara laki-lakinya  Sedana (Sadhana atau Sadono), dengan  latar belakang Kerajaan Medang  Kamulan, atau kahyangan (dengan  keterlibatan dewa-dewa seperti Batara  Guru), atau kedua-duanya. Di  beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan  ular sawah sedangkan  Sadhana dengan burung sriti. Orang Jawa  tradisional memiliki  tempat khusus di tengah rumah mereka untuk Dewi Sri  agar mendapatkan  kemakmuran yang dihiasi dengan ukiran ular. Di  masyarakat pertanian,  ular yang masuk ke dalam rumah tidak diusir karena  ia meramalkan panen  yang berhasil, sehingga malah diberi sesajen. Di  Bali, mereka  menyediakan kuil khusus untuk Dewi Sri di sawah. Orang  Sunda memiliki  perayaan khusus dipersembahkan untuk Dewi Sri.
Perkembangan   selanjutnya dalam permainan Angklung tradisi disertai pula dengan  unsur  gerak dan ibing (tari) yang ritmis (ber-wirahma) dengan pola dan   aturan=aturan tertentu sesuai dengan kebutuhan upacara penghormatan  padi  pada waktu mengarak padi ke lumbung (ngampih pare, nginebkeun),  juga  pada saat-saat mitembeyan, mengawali menanam padi yang di sebagian   tempat di Jawa Barat disebut ngaseuk. Demikian pula pada saat pesta   panen dan seren taun dipersembahkan permainan angklung dan calung.   Terutama pada penyajian Angklung yang berkaitan dengan upacara padi,   kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang sifatnya arak-arakan atau   helaran, bahkan di sebagian tempat menjadi iring-iringan Rengkong dan   Dongdang serta Jampana (usungan pangan) dan sebagainya. (Sumber diperoleh dari  wapedia.mobi/id/Angklung)
No comments:
Post a Comment