Kecamatan Pinggirran yang nota bene jauh dari pusat Pemerintahan Kabupaten Kuningan ternyata tidak merasa terpinggirkan dalam hal pelunasan PBB, Kecamatan yang berada di sebelah selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Ciamis dan Cilacap Jawa Tengah itu menjadi yang tercepat dalam pelunasan PBB tingkat Kecamatan yang ada di Kabupaten Kuningan.
Tuesday, May 29, 2012
SDN Tangkolo 1 sebagai Juara 1
Grand Final Lomba Inovasi Pembelajaran Alat Peraga (LIPAP) I yang  berlangsung di aula SMPN 1 Kuningan secara resmi ditutup oleh Wakil  Bupati Kuningan Drs. H. Momon Rochmana, MM pada hari 
Sunday, May 27, 2012
Asal Mula Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih). Pengertian  calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni  pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung  rantay dan calung jinjing.
Sejarah Kota Cianjur
Cikal bakal Cianjur berasal dari perpindahan rakyat dari Sagaraherang  Subang.
Daerah ini pernah dijadikan sebagai pusat kekuasaan dan pusat penyebaran Islam yang dipimpin oleh Aria Wangsagoparana. Ia mempunyai 8 orang anak dengan anak tertuanya bernama Jayasasana yang meneruskan ayahnya sebagai penguasa Cianjur.
Daerah ini pernah dijadikan sebagai pusat kekuasaan dan pusat penyebaran Islam yang dipimpin oleh Aria Wangsagoparana. Ia mempunyai 8 orang anak dengan anak tertuanya bernama Jayasasana yang meneruskan ayahnya sebagai penguasa Cianjur.
Sejarah Kota Tasikmalaya
Saat ini, kata “Tasikmalaya” dipergunakan untuk dua nama hierarki  pemerintahan daerah. Pertama, Kabupaten Tasikmalaya yaitu daerah otonom   yang dipimpin oleh seorang bupati dengan luas wilayah sekitar 2.508,91  km2. Sebelum bernama Tasikmalaya, kabupaten ini bernama Sukapura yang  didirikan oleh Sultan Agung dari Mataram pada 9 Muharam Tahun Alif,   bersama-sama dengan Kabupaten Bandung dan Kabupaten Parakanmuncang (van  der Chjis, 1880: 80-81). Kedua, Kota Tasikmalaya yakni daerah otonom  yang dipimpin oleh seorang wali kota dengan luasnya sekitar 177,79 km2  yang dikukuhkan pada 17 Oktober 2001. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10  Tahun 2001, wilayah Kota Tasikmalaya meliputi tiga kecamatan bekas Kota  Administratif Tasikmalaya, yaitu: Cihideung, Tawang, dan Cipedes; serta  lima kecamatan yang diambil dari Kabupaten Tasikmalaya, yaitu:  Indihiang, Mangkubumi, Kawalu, dan Cibeureum (Indonesia, 2001; Marlina,  2007: 98). Berdasarkan sensus tahun 2000, Kota Tasikmalaya berpenduduk  sekitar 528.216 jiwa sehingga kepadatannya mencapai 2.971 jiwa/km.  Kepadatan penduduk di pusat Kota Tasikmalaya (Cihideung, Tawang, dan  Cipedes) mencapai lebih dari 7.800 jiwa/km (Santoso [ed.], 2004: 333).
Pemerintahan Kota Tasikmalaya memang masih begitu muda. Akan tetapi,  keberadaan Kota Tasikmalaya sudah dikenal jauh sebelum pemerintahan kota  tersebut dibentuk. Pada masa kolonial, Kota Tasikmalaya menunjukkan  pertumbuhan yang dinamis seiring dengan perubahan fungsi kota dari  sebuah kota distrik (district) menjadi kota keresidenan (residentie).  Sementara itu, dilihat dari aspek wilayah administrasi pemerintahan,  wilayah Kota Tasikmalaya tidaklah identik dengan Kabupaten Sukapura. Di  lain pihak, opini umum menunjukkan bahwa Kota Tasikmalaya merupakan  hasil dinamis dari perkembangan Kabupaten Sukapura.
Pertumbuhan Kota Tasikmalaya penting untuk diteliti karena sampai  sekarang kota tersebut menjadi barometer di wilayah Priangan Timur  (Santoso [ed.], 2004: 337). Dalam makalah ini, tidak semua aspek yang  menjadi indikator pertumbuhan sebuah kota akan dikaji, tetapi dibatasi  pada tiga permasalahan, yaitu: pertama, kapan nama Tasikmalaya mulai  dipergunakan dalam administrasi pemerintahan kolonial?; kedua, apakah  Distrik Tasikmalaya merupakan wujud perubahan dari Distrik Tawang?;  ketiga, apakah pertumbuhan Kota Tasikmalaya terkait dengan perkembangan  Kabupaten Sukapura?
B. Tasikmalaya: Tinjauan Etimologis
Ada dua keterangan yang menerangkan asal-usul nama Tasikmalaya dan  kedua keterangan tersebut menunjukkan bahwa Tasikmalaya merupakan nama  yang berasal dari dua kata. Pertama, Tasikmalaya merupakan nama yang  berasal dari kata tasik jeung laya yang memiliki makna keusik ngalayah  atau hamparan pasir sebagai akibat letusan Gunung Galunggung tahun  1822.  Kedua, Tasikmalaya merupakan gabungan dari kata tasik yang  artinya telaga, laut, atau air yang menggenangi; dan malaya yang  memiliki arti jajaran gunung-gunung. Toponimi ini mengandung makna bahwa  keberadaan gunung yang mencapai jumlah ribuan laksana air laut  (banyaknya) (Permadi, 1975: 3). Gunung-gunung tersebut ada yang  terbentuk sebelum dan sesudah Gunung Galunggung meletus tahun 1822.  Secara geologis, letusan tersebut mengakibatkan terciptanya jurang  terjal yang membentuk formasi sepatu kuda ke arah timur Gunung  Galunggung. Beberapa tahun setelah letusan dahsyat itu, bermunculanlah  bukit-bukit kecil (hillocks) yang berjumlah sekitar 3.648 buah.  Bukit-bukit kecil itulah yang kemudian memperkuat ciri khas geogafis  daerah Kota Tasikmalaya (Furuya, 1978: 591-592; Zen, 1968: 62; ).
Berdasarkan uraian tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama  Tasikmalaya itu lahir dan mulai dipergunakan dalam administrasi  pemerintahan setelah Gunung Galunggung meletus tahun 1822 (Ekadjati et  al., 1975: 5; Marlina, 2007: 36). Sulit untuk menerima pendapat bahwa  Tasikmalaya mulai dipergunakan setelah Gunung Galunggung meletus tahun  1822. Memang dalam laporan Residen Priangan tahun 1816, Tasikmalaya  belum dipergunakan sebagai nama sebuah distrik, yakni wilayah  pemerintahan yang berada di bawah kabupaten (de la Faille, 1895: 53).  Akan tetapi, tahun 1820 nama Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam  administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, nama  Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan  Hindia Belanda dengan nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan  wilayah sepanjang 37 pal (Statistiek van Java. 1820). Pada akhir tahun  1830-an, nama distrik tersebut menjadi Distrikt Tasjikmalaija yang  mencakup sekitar 79 desa (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche  Hoofden en Beambten…1839). Penulis cenderung untuk berpendapat bahwa  nama Tasikmalaya mulai dipergunakan antara tahun 1816-1820 atau pada  masa awal Pemerintahan Komisaris Jenderal Hindia Belanda. Hal tersebut  seiring dengan pendapat yang menyatakan bahwa nama Tasikmalaya mulai  dipergunakan sebelum Gunung Galunggung meletus tahun 1822 dan penamaan  tersebut semakin menguat setelah peristiwa alam itu terjadi (Roswandi,  2006: 232).
C. Distrik Cicariang menjadi Distrik Tasikmalaya
Kalau memang nama Tasikmalaya baru dipergunakan antara tahun  1816-1820, lantas wilayah yang sekarang bernama Kota Tasikmalaya itu  sebelumnya bernama apa? Selain itu, apakah nama Distrik (Kota)  Tasikmalaya merupakan penjelmaan dari nama wilayah tersebut?
Sebelum bernama Tasikmalaya, wilayah ini bernama Tawang, Galunggung,  atau Tawang-Galunggung. Tawang diambil dari kata sawang, yakni tempat  luas yang terbuka yang dalam bahasa Sunda dapat diartikan juga sebagai  tempat palalangon yang bermakna memiliki makna sebagai tempat  panyawangan anu plungplong ka ditu ka dieu (Ekadjati et al., 1975: 3;  Musch, 1918: 202; Permadi, 1975: 3). Sekarang, Tawang merupakan salah  satu nama kecamatan dan sebagian wilayahnya merupakan pusat Kota  Tasikmalaya. Sementara itu, nama Galunggung jauh lebih dikenal daripada  Tawang karena sebagai nama sebuah kabuyutan. Sampai awal abad ke-19,  wilayah Galunggung yang meliputi daerah Kota Tasikmalaya sekarang,  merupakan bagian dari Kabupaten Parakanmuncang (de la Faille, 1895:  123). Ketika kabupaten ini dibubarkan oleh Daendels tahun 1811, wilayah  Galunggung dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kabupaten Sumedang.
Ketika sistem distrik diperkenalkan dalam birokrasi tradisional, maka  daerah Tawang pun berubah status menjadi Distrik Tawang dan pada waktu  pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura berkedudukan di Manonjaya  (1839-1901), Distrik Tawang merupakan salah satu distrik di wilayah  Kabupaten Sumedang (Marlina, 1972: 6; Sastrahadiprawira, 1953: 182).  Oleh karena itu, penggunaan nama Tasikmalaya merupakan suatu upaya bagi  pengubahan nama Tawang atau Tawang-Galunggung (Roswandi, 2006: 232).  Betulkah seperti itu?
Dalam Verslag Omtrent de Residentie Preanger-Regentschappen en Krawang  1816, Raffles membagi wilayah ini berdasarkan sistem distrik yang   dipimpin oleh seorang wedana. Kabupaten Sumedang dibagi menjadi beberapa  beberapa distrik, antara lain Ciawi, Pagerageung, Rajapolah, Indihiang,  Cicariang, dan Singaparna. Sementara itu, di Kabupaten Sukapura tidak  terdapat wilayah yang bernama Distrik Tawang atau Distrik Galunggung.
Distrik Cicariang merupakan wilayah pemerintahan yang kemudian  berkembang menjadi Distrik Tasikmalaya karena secara geografis, wilayah  pemerintahan Distrik Cicariang hampir sama dengan wilayah pemerintahan  Distrik Tasikmalaya. Hal tersebut diperkuat dengan data statistik yang  dibuat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun tersebut, dalam  administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1820, Kabupaten  Sumedang dibagi menjadi beberapa distrik, salah satunya bernama Distrikt  Tasjikmalaija op Tjitjariang dengan wilayah sepanjang 37 pal dan pusat  pemerintahannya di Tasjikmalaija en Tjitjariang (Statistiek van Java.  1820). Kedudukan Tasikmalaya dan Cicariang sebagai hoofdplaats van het  Distrikt Tassikmalaija op Cicariang tercatat dalam peta Distrik  Tasikmalaya awal abad ke-19.
Pada akhir tahun 1830-an, nama Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang  menghilang. Dalam administrasi wilayah Pemerintahan Hindia Belanda yang  ada adalah Distrikt Tasjikmalaija yang mencakup sekitar 79 desa  (Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten…1839,).  Pada pertengahan abad ke-19, Distrik Tasikmalaya dibagi menjadi tujuh  onderdistrik, yaitu onderdistrikten Sambong, Siloeman, Tjibodas,  Tjisangkir, Tjihideung, Pagaden, Mangkoeboemi, en Tjibeuti (Veth, 1869:  906.). Kedudukan Tasikmalaya sebagai pusat pemerintahan distrik dan  ketujuh onderdistrik lainnya tercatat dalam dalam Algemeen Atlas van  Nederlandsch Indië yang dibuat tahun 1857 (van Carbee en Versteeg,  1853-1862).
Fakta tersebut menunjukkan kepada kita bahwa Distrik Tasikmalaya bukan  merupakan perubahan nama dari Distrik Tawang, melainkan perubahan dari  Distrik Cicariang. Perubahan tersebut tidak dilakukan secara langsung  melainkan setahap demi setahap. Hal tersebut dapat dilihat dari  penggunaan nama distrik (Tjitjariang – Tassikmalaija op Tjitjariang –  Tasikmalaja). Demikian juga dengan lokasi pusat pemerintahannya, pada  awalnya tidak hanya berkedudukan di Tasikmalaya, melainkan juga di  Cicariang.
D. Dari Kota Distrik menjadi Kota Kabupaten
Dalam tulisannya berjudul Sukapura (Tasikmalaya), Ietje Marlina  (2000: 91-110) memandang Kota Tasikmalaya sebagai bagian dari  pertumbuhan Kabupaten Sukapura. Pendapat ini kemudian menjadi opini umum  seperti yang terlihat dari beberapa tulisan mengenai Kota Tasikmalaya  (Adeng, 2005; Roswandi, 2006). Sejatinya, pembahasan mengenai Kota  Tasikmalaya harus dibedakan dengan Kabupaten Tasikmalaya. Nama  pemerintahan yang terakhir memang tidak dapat dilepaskan dari eksistensi  Kabupaten Sukapura karena pada kenyataannya Kabupaten Tasikmalaya  merupakan penjelmaan dari Kabupaten Sukapura. Uraian mengenai Kota  Tasikmalaya harus dilihat sebagai bagian dari perkembangan Kabupaten  Sumedang.
Ketika Distrikt Tasjikmalaija op Tjitjariang mulai dipergunakan dalam  administrasi wilayah pemerintahan, Kota Tasikmalaya berkedudukan sebagai  pusat pemerintahannya bersama-sama dengan Tjitjariang. Kedudukannya  tersebut tidak berubah sampai sistem distrik dihapus pada masa  Pemerintahan Republik Indonesia. Pada 1862, Pemerintah Hindia Belanda  memperkenalkan sistem afdeeling dalam struktur pemerintahan kabupaten.  Tujuannya adalah untuk mengurangi kekuasaan bupati karena pemerintahan  sehari-hari di wilayah afdeeling dijalankan oleh hoofd van plaatselijke  bestuur (setingkat asisten residen) yang didampingi oleh zelfstandige  patih atau patih afdeeling (Indonesia, 1953: 157-158; Lubis, et al.,  20031: 340). Sistem afdeeling diberlakukan terhadap kabupaten yang  memiliki wilayah cukup luas. Salah satu kabupaten di Residentie  Preanger-Regentschappen yang memiliki wilayah cukup luas adalah  Kabupaten Sumedang sehingga berdasarkan sistem afdeeling tersebut,  wilayahnya dipecah menjadi dua afdeeling. Pertama, Afdeeling Baloeboer  op Noord Soemedang yang terdiri atas 6 distrik, 39 onder distrik, dan  209 desa. Kedua, Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang yang terdiri  atas 5 distrik, 41 onder distrik, dan 254 desa. Afdeeling Baloeboer  memiliki wilayah sepanjang 16,93 Geographische Mijlen atau 650 pal  sedangkan Afdeeling Galoenggoeng memiliki panjang wilayah sekitar 15,85  Geographische Mijlen atau sekitar 383 pal  (Statistiek der Preanger  Regentschappen. 1863). Pusat pemerintahan Afdeeling Galoenggoeng op Zuid  Soemedang terletak sekitar 7 pal dari kota Manonjaya, ibu kota  Kabupaten Sukapura, dan sekitar 55 pal dari kota Sumedang, ibu kota  Kabupaten Sumedang  (Veth, 18693: 906).
Perubahan struktur pemerintahan ini membawa dampak pada status Kota  Tasikmalaya, karena sejak Afdeeling Galoenggoeng op Zuid Soemedang  dibentuk, Kota Tasikmalaya tidak hanya berkedudukan sebagai hoofdplaats  der district melainkan juga sebagai hoofdplaats der afdeeling.  Dengan  demikian, Kota Tasikmalaya tidak hanya menjadi tempat tinggal wedana,  melainkan juga menjadi tempat tinggal asisten residen sebagai hoofd van  plaatselijke bestuur dan zelfstandige patih. Kenyataan tersebut menarik  untuk diteliti lebih mendalam karena jarak Kota Tasikmalaya ke Kota  Sumedang relatif lebih jauh, tetapi berkedudukan sebagai kedudukan  zelfstandige patih sebagai wakil Bupati Sumedang dalam menjalankan roda  pemerintahan sehari-hari. Kota Tasikmalaya justru lebih dekat ke Kota  Manonjaya yang pada waktu berkedudukan sebagai pusat pemerintahan  Kabupaten Sukapura.
Pada tahun 1870 Preangerstelsel dihapus oleh Pemerintah Hindia Belanda,  kecuali untuk penanaman kopi. Satu tahun kemudian, Pemerintah Hindia  Belanda menata ulang wilayah administrasi Preanger Regentschappen atau  yang dikenal dengan nama Preanger Reorganisatie. Dalam reorganisasi itu,  Residentie der Preanger Regentschappen dibagi menjadi sembilan  afdeeling yang dipimpin oleh seorang asisten residen. Sebagian afdeeling  bersatu dengan kabupaten sehingga pemerintahan sehari-hari dijalankan  oleh bupati dan asisten residen; sebagian lagi berdiri sendiri sehingga  pemerintahan dijalankan oleh patih afdeeling dan asisten residen (Lubis,  1998: 33; Natanagara, 1937: 114). Berdasarkan reorganisasi itu, nama  Afdeeling Galoenggoeng Zuid op Soemedang diganti menjadi Afdeeling  Tasjikmalaija dengan wilayah administrasi pemerintahannya tidak  mengalami perubahan, termasuk pusat pemerintahannya masih berkedudukan  di Kota Tasikmalaya.
Berdasarkan Besluit van den Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indië  tanggal 1 September 1901. No. 4, terhitung sejak 1 Desember 1901  Afdeeling Tasikmalaya dihapus dan wilayahnya dimasukkan ke tiga  kabupaten. Distrik Ciawi, Indihiang, Tasikmalaya, dan Singaparna  dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sukapura; Onderdistrik Malangbong Kulon  dan Lewo (Distrik Malangbong) dimasukkan ke wilayah Kabupaten Limbangan;  dan Onderdistrik Cilengkrang dimasukkan ke wilayah Kabupaten Sumedang.  Seiring dengan itu, pusat pemerintahan Kabupaten Sukapura pun  dipindahkan ke Kota Tasikmalaya yang telah dimulai sejak tanggal 1  Oktober 1901, tetapi baru dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada  1 Desember 1901 (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor het Jaar 1901.  No. 327). Perintah pemindahan tersebut disebabkan oleh pertama, letak  Kota Tasikmalaya yang strategis terutama jika dikaitkan dengan  kepentingan Pemerintah Hindia Belanda; dan kedua, Kota Tasikmalaya lebih  berpotensi untuk dikembangkan dibandingkan dengan Kota Manonjaya  (Marlina, 2007: 92).
Tahun 1913, Pemerintah Hindia Belanda mengubah nama Kabupaten Sukapura  menjadi Kabupaten Tasikmalaya (Staatsblad van Nederlandsch-Indië voor  het Jaar  1913. No. 356). Demikian juga dengan nama Afdeeling Sukapura  diubah menjadi Afdeeling Tasikmalaya. Sejak saat itu, Tasikmalaya  menjadi pusat pemerintahan beberapa hierarki pemerintahan daerah, antara  lain Afdeeling Tasikmalaya, Kabupaten Tasikmalaya, Controle-Afdeeling  Tasikmalaya, Distrik Tasikmalaya, dan Onderdistrik Tasikmalaya. Pada  1921, Distrik Tasikmalaya memiliki luas sekitar 178 km2 yang dibagi  menjadi tiga onderdistrik, yaitu Tasikmalaya, Kawalu, dan Indihiang;  serta dengan jumlah desa sekitar 46 buah (Encyclopaedie van  Nederlandsch-Indie, 19214: 285; Regeeringsalmanak voor NI, 19191: 394).
Dalam kurun waktu 1926-1931, kedudukan Kota Tasikmalaya semakin penting  karena menjadi pusat pemerintahan Afdeeling Oost-Priangan. Bentuk  pemerintahan ini merupakan implementasi dari Bestuurshervormingwet tahun  1922 yang membagi Keresidenan Priangan menjadi tiga afdeeling, yaitu  Afdeeling West-Priangan, Midden-Priangan, dan Oost-Priangan yang  masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Afdeeling Oost-Priangan  meliputi Kabupaten Garut, Tasikmalaya, dan Ciamis (Regeeringsalmanak  voor NI, 19301: 327-336). Seiring dengan penghapusan Afdeeling  Oost-Priangan tahun 1931, fungsi Kota Tasikmalaya kembali mengalami  perubahan karena tidak lagi kedudukan residen.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan sebagai  berikut. Pertama, Tasikmalaya telah dipergunakan sebagai nama suatu  wilayah pemerintahan antara tahun 1816-1820. Sebelum kurun waktu itu,  nama yang dikenal adalah Tawang, Galunggung, atau Tawang-Galunggung.  Ketika Gunung Galunggung meletus tanggal 8 dan 12 Oktober 1822, nama  Tasikmalaya sudah dipergunakan dalam administrasi wilayah pemerintahan.
Kedua, penggunaan nama Tasikmalaya sebagai nama distrik bukan merupakan  perubahan dari Distrik Tawang karena dari berbagai sumber arsip distrik  tersebut tidak pernah tercatat. Pada masa Raffles (1816) di wilayah  Priangan terdapat sebuah distrik bernama Cicariang. Oleh Komisaris  Jenderal Hindia Belanda, nama tersebut diubah menjadi Distrikt  Tassikmalaija op Tjitjariang. Pada akhir tahun 1930-an, nama distrik  tersebut berubah lagi menjadi Distrikt Tassikmalaija. Setelah berubah,  Cicariang menjadi sebuah onderdistrik dengan nama Cibeuti dengan pusat  pemerintahannya di Cibeuti.
Ketiga, pertumbuhan Kota Tasikmalaya bukan sebagai bagian dari  perkembangan Kabupaten Sukapura, melainkan sebagai bagian dari dinamika  Kabupaten Sumedang. Baru pada tahun 1901, Kota Tasikmalaya merupakan  bagian integral dari Kabupaten Sukapura yang kemudian namanya berubah  menjadi kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu, pertumbuhan Kota  Tasikmalaya dapat dilihat dari fungsi kota yang semula berkedudukan  sebagai kota distrik yang berkembang sedemikian rupa sehingga  berkedudukan sebagai kota kabupaten dan keresidenan.
DAFTAR SUMBER
Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van Nederlandsch Indie,  Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. 1861. Eerste Deel (A-J).   Amsterdam: van Kamp.
Algemeen Instructie van Alle Inlandsche Hoofden en Beambten behalve de  Gestelijkeheid in de Residentie Preanger Regentschappen met vermelding  van derzelver inkomsten in 1839.
Brandes, J. 1888. “Drie Koperen Platen uit den Mataramschen Tijd”. TBG, XXXII.
de Graaf, H. J. 1990. Puncak Kekuasaan Mataram; Politik Ekspansi Sultan  Agung. Terj. Pustaka Grafiti Utama dan KITLV. Jakarta: Pustaka Grafiti  Utama.
de Haan, F. 1912. Priangan; de Preanger-Regentschappen onder het  Nederlandsch Bestuur tot 1811. Deerde Deel. Batavia: G. Kolff & Co.
de la Faille, P. de Roo. 1895. Preanger-Schetsen. Batavia: G. Kolff & Co.
Dienaputra, Reiza D. 2004. Cianjur: Antara Bandung dan Buitenzorg.  Sejarah Cikal Bakal Cianjur dan Perkembangannya Hingga 1942. Bandung:  Prolitera.
Ekdjati Edi S. et al. 1975. Hari Jadi Tasikmalaya. Cetakan Pertama.  Tasikmalaya: Pemerintah Kabupaten Daerah Tingkat II Tasikmalaya.
Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie. 1921. Tweede Druk. Veerde Deel (Soemb – Z). s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Furuya, Takahiko. “Preliminary Report on Some Volcanic Disasters in  Indonesia” dalam South East Asian Studies. Vol. 15. No. 4. Tahun 1978.
Hardjasaputra, A. Sobana. “Hari Jadi Kabupaten Bandung 16 Juli”. Galamedia, 20 Februari 2007.
————–. 1989. Bandung in the Earlier Nineteenth Century (ca. 1810-1850). Clayton, Vic. : Monash University.
Indonesia. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara.
————–. 2001. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2001 tentang  Pembentukan Kota Tasikmalaya. Jakarta: Sekretariat Negara.
Indonesia. Kementrian Penerangan. 1953. Propinsi Djawa Barat. Djakarta: Dewaruci Press.
Kleine, Jacoub Wouter. 1931. Het Preangerstelsel (1677-1871) en Zijn Nawerking. Delft: Drukkerij J. Waltman Jr.
Lubis, Nina H. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan (1800-1042). Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Lubis, Nina H. et al. 2003. Sejarah Tatar Sunda. Jilid I. Bandung: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lemlit Unpad.
Marlina, Ietje D. Dirapradja. 1972. Berdirinya Kabupaten Sukapura dan  Perkembangannya. Skripsi Sarjana. Bandung: Fakultas Sastra Unpad.
————–. 2000. “Sukapura (Tasikmalaya)” dalam Sejarah Kota-Kota Lama di Jawa Barat. Hlm. 91-110. Jatinangor: AlqaPrint.
————–. 2007. Perubahan Sosial di Tasikmalaya; Suatu Kajian Sosiologis Sejarah. Bandung: AlqaPrint.
Musch, C. C. 1918. Topographisen Dienst in Nederlandsch Indie over 1917. Dertiende Jaargang. Batavia.
Natanagara, Rd. Asik. 1937. “Sadjarah Soemedang ti Djaman Koempeni Toeg  Nepi ka Kiwari” dalam Volksalmanak Soenda. Batavia: Kolff.
Permadi, Agus. “Prasasti Geger Hanjuang; Ngahanjuang-siangkeun Hari Jadi Tasikmalaya” dalam Mangle No. 495, September 1975.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië. 1919; 1925; 1930. Eerste  Gedeelte: Grondgebied en Bevolking, Inrichting van het Bestuur van  Nederlandsch-Indië en Bijlagen. Batavia: Landsdrukkerij.
Roswandi, Iwan. 2006. “Sejarah Kabupaten Tasikmalaya; Studi tentang  Berdiri dan Berkembangnya Pemerintahan Tasikmalaya” dalam Iim Imanuddin  dan Sindu Galba (eds.). Sejarah Kabupaten/Kota di Jawa Barat dan Banten:  Garut-Subang-Bekasi-Tasikmalaya-Tangerang. Bandung: Balai Kajian  Sejarah dan Nilai Tradisional.
Santoso (ed.), F. Harianto 2004. Profil Daerah Kabupaten dan Kota. Jilid 4. Jakarta: Buku Kompas.
Sastrahadiprawira, R. Memed. 1953. “Manondjaja Dajeuh Narikolot” dalam R. I. Adiwidjaja. Pantjawarna. Djakarta: Balai Pustaka.
Staatsblad van Nederlandsch-Indië. Jaar 1859. No. 91; 1871. No. 122; 1901. No. 327. 1913. No. 356.
Statistiek der Preanger Regentschappen. 1863.
Statistiek der Residentie Preanger-Regentschappen. Jaar 1837.
Statistiek van Java. 1820.
van Carbee, P. Baron Melvill en W. F. Versteeg. 1853-1862. Algemeene  Atlas van Nederlandsch Indie. Batavia: van Haren Noman & Kolff.
van der Chjis, J. A. 1880. Babad Tanah Pasundan. Terj. Raden Karta Winata. Batavia: Kantor Citak Gupernemen.
Veth, P. J. 1869. Aardrijkskundig en Statistisch Woordenboek van  Nederlandsch Indie, Bewerkt Naar de Jongste en Beste Berigten. Deerde  Deel (R-Z). Amsterdam: van Kamp.
Widjajakusumah, R. D. Asikin. 1961. “Tina Babad Pasundan; Riwayat  Kemerdekaan Bangsa Sunda Saruntangan Kerajaan Padjadjaran dina tahun  1580” dalam Kalawarta Kudjang. Bandung.
Zen, M. T. “Seribu Gunung di Priangan Timur” dalam Majalah Intisari. No. 6. Agustus 1968.
Sejarah Kota Banjar
Sejarah Pembentukan Kota Banjar tidak  terlepas dari sejarah berdirinya Pemerintah Kabupaten Ciamis di masa  lalu. Rangkaian waktu perjalanan berdirinya Pemerintah Kabupaten Ciamis  sampai terbentuknya Pemerintah Kota Banjar melalui tahapan-tahapan  sebagai berikut :
I. Banjar dalam sejarah perkembangannya
Banjar sejak didirikan sampai sekarang  mengalami beberapa kali perubahan status, untuk lebih jelas  perkembangannya sebagai berikut :
A. Banjar sebagai Ibukota Kecamatan, dari tahun 1937 sampai tahun 1940.
B. Banjar sebagai Ibukota Kewadanaan, dari tahun 1941 sampai dengan 1 Maret 1992
C. Banjar sebagai Kota Administratif dari tahun 1992 sampai dengan tanggal 20 Pebruari 2003.
D. Banjar sebagai Kota sejak tanggal 21 Pebruari 2003.
II. Terbentuknya Banjar Kota Administratif 
Perkembangan dan kemajuan wilayah Provinsi  Jawa Barat pada umumnya dan Kabupaten Ciamis khususnya wilayah Kecamatan  Banjar, memerlukan pengaturan penyelenggaraan pemerintahan secara  khusus guna menjamin terpenuhinya tuntutan perkembangan dan kemajuan  sesuai dengan aspirasi masyarakat di Wilayah Kecamatan Banjar.
Wilayah Kecamatan Banjar menunjukan  perkembangan dan kemajuan dengan ciri dan sifat kehidupan perkotaan,  atas hal tersebut wilayah Banjar perlu ditingkatkan menjadi Kota  Administratif yang memerlukan pembinaan serta pengaturan pemerintahan,  pembangunan dan kemasyarakatan secara khusus.
Akhirnya tahun 1992 Pemerintah membentuk  Banjar Kota Administratif berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54  Tahun 1991 tentang Pembentukan Banjar Kota Administratif yang diresmikan  oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 2 Maret 1992.
Beberapa alasan mengapa Banjar menjadi Kota administratif antara lain :
Keadaan Geografis, Demografis dan  sosiologis kehidupan masyarakat yang perkembangannya sangat pesat  sehingga memerlukan peningkatan pelayanan dan pengaturan dalam  penyelenggaraan pemerintahan.
III. Terbentuknya Kota Banjar
Semakin pesatnya perkembangan dan tuntutan  aspirasi masyarakat yang semakin mendesak agar Banjar Kota Administratif  segera ditingkatkan menjadi Pemerintah Kota dimana hal ini pun sejalan  dengan tuntutan dan undang-undang nomor 22 Tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah dan di sisi lain Pemerintah Kabupaten Ciamis  bersama-sama Pemerintah Provinsi Jawa Barat memperhatikan perkembangan  tersebut dan mengusulkan kepada Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan  Rakyat Republik Indonesia.
Momentum peresmian Kota Banjar yang diikuti  pelantikan Penjabat Walikota Banjar dapat dijadikan suatu landasan yang  bersejarah dan tepat untuk dijadikan Hari jadi Kota Banjar.
Sejarah Kota Kuningan
Periode Setelah Masuknya Agama Islam  
Masyarakat Kuningan  menganut agama Hindu dan merupakan Daerah otonom yang masuk wilayah  kerajaan Sunda yang dikenal dengan nama Pajajaran, seluruh Jawa barat  termasuk Cirebon pada tahun 1389 M masuk bagian dari Pajajaran dengan  pelabuhannya saat itu meliputi Cirebon, Indramayu, Karawang, Sunda  Kelapa dan Banten. 
1.  Waktu Cirebon dibawah pimpinan Ki Gedeng Jumajanjati anaknya Ki Gedeng  Kasmaya, datanglah pelaut Cina yang dipimpin oleh Laksamana Te Ho (  Cheng Ho) dan sebagai rasa terimakasihnya atas sambutan rakyat Cirebon,  maka dibuatlah Mercusuar di Pelabuhan Cirebon itu. 
Setelah  itu Pelabuhan Cirebon kedatangan seorang ulama Islam yang bernama Syekh  Idhofi ( Syekh Datuk Kahfi ) yang dikenal dengan julukan Syeh  Nuruljati. Ulama ini kemudian mendirikan pesantren dikaki bukit Sembung  dan menetap di Pesambangan ( Desa Jatimerta). Salah satu murid ulama ini  ada yang bernama Pangeran Walangsungsang Cakrabuana dan mendirikan  sebuah kota bernama Caruban yang kemudian dikenal dengan nama Cirebon.  Setelah ia berhaji mendapat julukan Haji Duliman yang akhirnya memimpin  pemerintahan di Cirebon.  
2. Saat itu di  pelabuhan Karawang datang juga seorang ulama yang bernama Syekh  Hasanuddin dari Campa dan dikenal dengan sebutan Syekh Quro karena  mendirikan pesantren Quro. Dikemudian hari pesantren ini kedatangan  Syekh Maulana Akbar yang meneruskan perjalanannya ke Pesambangan.  
Dalam  perjalanannya mengembangkan Islam, Syekh Maulana Akbar ini pernah  singgah sebentar di daerah Buni Haji – Luragung , kemudian  melanjutkannya sampai ke daerah Kuningan yang pada waktu itu dikenal  dengan nama Kejene (artinya Kuning) , penduduknya menganut agama Hindu (  Agama Sanghiang), dengan pusat pemerintahannya di daerah Sidapurna yang  artinya sempurna.  
Syech Maulana Akbar akhirnya  menetap disana dan mendirikan pesantren di Sidapurna serta menikah  dengan seorang putri pejabat pemerintahan Kejene dan mempunyai seorang  putra bernama Syekh Maulana Arifin atau syekh Arif. Karena pesatnya  kemajuan pesantren ini sehingga tidak cukup menampung para pendatang,  maka dibuatlah pemukiman baru dengan dasar Islam yang diberi nama  Purwawinangun ( Artinya mula-mula dibangun ). Syekh Maulana Akbar ini  meninggal dan dimakamkan di Astana Gede.  
Syekh  Arif ini meneruskan usaha yang telah dirintis oleh ayahnya dengan  memajukan bidang peternakan, terutama peternakan kuda yang khas di  Kejene ( kuda Kejene yang kemudian terkenal dengan sebutan Kuda Kuningan  ), Syeh Maulana Arifin ini kemudian menikah dengan Ratu Salawati Putri  dari seorang penguasa Kajene  
2. Syarif Abdullah  menikah dengan Rara Santang atau Syarifah Modarin putri Prabu Siliwangi  dan mempunyai putra bernama Syarif Hidayatullah, Sesudah dewasa oleh  ayahnya disuruh datang ke Daerah Surabaya -Jawa Timur untuk berguru  kepada seorang ulama besar Islam yaitu Sayid Rahmat atau Sunan Ngampel  yang memimpin daerah Ampeldenta. Kemudian Syarif Hidayatullah oleh Sunan  Ngampel ditugaskan untuk menyebarkan Islam di Jawa barat dan dimulai  dari Cirebon pada tahun 1470 M. Pada tahun 1479 M Haji Abdullah Imam  berkenan menyerahkan kedudukan Kepala Pemerintahan Cirebon kepada Syarif  Hidayatullah, setelah menikahi putrinya yang kemudian bergelar  Susuhunan Jati atau dikenal dengan ” Sunan Gunung Jati ”.  
3.  Terdorong hasrat untuk menyebarkan Islam,pada tahun 1481 M Syarif  Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (SGJ) datang ke Luragung . Waktu itu  yang memimpin pemerintahan di Luragung adalah Ki Gedeng Luragung  ,beliau masih saudara dengan Ki Gedeng Kasmaya dari Cirebon dan akhirnya  Masuk Agama Islam.  
Pada waktu itu juga datang  Ong Tien putri dari Cina yang sedang mengandung menyusul ke Luragung  kemudian melangsungkan pernikahan dengan SGJ. Ong Tien tersebut kemudian  berganti nama menjadi Ratu Mas Rara Somanding.  
SGJ  bersama istrinya Ong Tien sepakat untuk memungut putra Ki Gedeng  Luragung (yang masih bayi) sebagai putranya, Sebagai imbalannya Kigedeng  Luragung diberikan ”Bokor Kuning” yang dikeluarkan dari kandungan Ong  Tien oleh SGJ. Kemudian SGJ bersama Ongtien dan anak angkatnya yang  diberi nama ”Sang Adipati” berangkat menuju Kejene yang pada waktu itu  dipimpin oleh Pangeran Aria Kamuning dan masih menganut Hindu Budha.  
Setelah  Pangeran Aria Kamuning masuk Islam dan Ong Tien meninggal dunia pada  tahun 1485 M Sang Adipati dipercayakan kepada Pangeran Aria Kamuning  untuk dididiknya dengan baik. Selama Sang Adipati belum dewasa maka  pangeran Aria Kamuning ditunjuk oleh SGJ sebagai Kepala Pemerintahan  Perwakilan di Kejene dibawah Kerajaan Cirebon.  
4.  Setelah Sang Adipati berusia 17 tahun, tepatnya tanggal ” 1 September  1498 M , beliau dinobatkan sebagai Kepala Pemerintahan Kuningan dan  diberi gelar Sang Adipati Kuningan. Dengan berdirinya Negera /Kerajaan  Kuningan dibawah Sang Adipati, maka sejak tanggal penobatannya nama  suatu daerah yang semula bernama Kejene kemudian diganti dan  dikembalikan lagi kenama aslinya yaitu ” Kuningan”.  
Beberapa  waktu setelah penobatan Sang Adipati datang seorang tokoh untuk berguru  kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon yang berasal dari daerah bawahan  Pajajaran yang bernama Dipati Ewangga yang disebut juga Dipati  Cangkuang. Sesudah ilmunya cukup, ia ditugaskan oleh SGJ untuk turut  membantu penyebaran Islam dan mengatur Pemerintahan Kuningan. Sang  Adipati juga dibantu oleh Rama Jaksa yang terkenal ahli dalam membuat  senjata. Petilasan Rama jaksa ditemukan di suatu tempat di Desa  Winduherang.  
Selain itu Sang Adipati juga  mendapat bantuan dua orang juru dakwah yang dikirim SGJ yaitu Pangeran  Purwajaya dan Pangeran Purwaganda yang datang ke Kuningan disertai  dengan rombongan kesenian.  
Dengan bantuan 4  tokoh tersebut dan Pangeran Aria Kamuning,  Sang Adipati melakukan  penyebaran Islam kesebelah timur, selatan , barat sampai ke Talaga dan  Rajagaluh ( Benteng pertahananan terakhir) dari kerajaan Hindu sekitar  Cirebon.  
5. Untuk lebih meresapkan Agama Islam  di kalangan penduduk Kuningan SGJ mengirim lagi Syekh Rama Haji Irengan,  ia memilih tempat kediamannya di Darma dan dengan bantuan para wali ia  membuat kolam yang sekarang dikenal dengan nama ”balong kancra” atau  ”balong keramat” atau ”Darma loka”. Bila diperhatikan bentuk balong itu  berliku-liku membentuk lafal Muhammad. Sesudah selesai membuat balong  darma para wali sepakat untuk membuat kolam-kolam lainnya dibeberapa  tempat yang memiliki sumber mata air seperti : Balong Cigugur, balong  Cibulan dan balong Pasawahan. Tidak jauh dari kolam2 itu para wali  mendirikan tempat-tempat  pesantren untuk melakukan kegiatan pemantapan  Agama Islam.  
6. Ketika Portugis mau mendirikan  benteng ditepi sungai Ciliwung untuk memperkuat pertahanan menghadapi  kekuasaan Islam di jawa Barat. Maka pada tanggal 21 Agustus 1522 M  membuat persekutuan dengan Pajajaran untuk menggagalkan usaha Portugis  tersebut. SGJ dan Demak setuju untuk menyerang dan menduduki Sunda  Kelapa mendahului Portugis. Kemudian datang bala tentara Demak ke  Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah( Faletehan) atau Fadhillah Khan .  Balatentara yang dipimpin Patahillah itu diperkuat dengan pasukan  tambahan dari Cirebon dan dari Kuningan yang dipimpin oleh Dipati  Ewangga.  
Semua pasukan bertolak dari pelabuhan  Cirebon menggunakan kapal laut, mula-mula yang didudukinya adalah Banten  terus Fatahillah mengerahkan tentaranya menuju Sunda Kelapa dan  berhasil di dudukinya  tahun 1527 M. Untuk mengabadikan kenangan itu  maka nama Sunda Kelapa diganti menjadi ” Jayakarta”.  
Tokoh-tokoh yang turut berjuang dengan Fatahillah banyak yang menetap di Jayakarta, diantaranya Dipati Ewangga bersama para pengikutnya dari Kuningan, yang kemudian membuat pemukiman di daerah itu yang pada akhirnya dikenal dengan nama ”Kampung Kuningan” atau daerah Kuningan – Jakarta.  
7.  Untuk meningkatkan kembali penyebaran Islam ke daerah pedalaman Jawa  Barat pada tahun 1528 M SGJ Mengangkat Putranya yaitu Pangeran Pasarean  sebagai pemangku kekuasaan Cirebon. Diantara daerah2 pedalaman yang  telah di Islamkan itu adalah Talaga, Sindangkasih ( Daerah Majalengka),  Cangkuang ( Garut), Galuh, Ukur, Cibalagung, Pagadingan ( Klungkung  Bntar), Indramayu, Batulayang dan Timbanganten.  
Dengan  dinobatkannya Pangeran Pasarean, Kerajaan Rajagaluh dibawah Prabu  Cakraningrat merasa hawatir dan perhatiannya mulai ditujukan ke Cirebon  dengan tuntutan agar Cirebon mengakui kekuasaannya dan menghentikan  penyebaran Agama islam. Semula Rajagaluh mengirimkan utusan dibawah  pimpinan De Dipasara. Tetapi usaha itu dihalang-halangi oleh Sang  Adipati Kuningan sehingga terpaksa kembali ke Rajagaluh. Pihak Rajagaluh  siap-siap memperkuat pertahanannya di kaki Gunung Gundul, Gempol dan  Palimanan yang dipimpin oleh Dipati Kiban. Untuk menghadapi ancaman  lawan itu SGJ mendirikan pertahanan di Plered yang dipercayakan untuk  dipimpin oleh Sang Adipati Kuningann. Sebelum melakukan serangan  langsung Sang Adipati Kuningan berusaha mencari penyelesaian secara  damai dan mengirim utusan dibawah pimpinan Demang Singgati untuk  menghubungi Rajagaluh. Tetapi usaha itu gagal dan terjadilah pertempuran  yang akhirnya Rajagaluh dapat ditundukan. Dalam pertempuran ini Sang  Adipati mendapat bantuan dari Pangeran Walangsungsang Cakrabuana, Ratu  Mas Gandasari dan Pangeran Karangkendal.  
8. Sang  Adipati menikah dengan putri Syekh Maulana Arifin dan mempunyai seorang  putra bernama ”Geusan Ulun” yang pada tahun 1570 M dinobatkan menjadi  Kepala Pemerintahan Kuningan menggantikan ayahnya yang meninggal pada  tahun 1568 M. Setelah dinobatkan beliau bergelar Pangeran Geusan Ulun  atau Prabu Geusan Ulun. Beliau mempunyai banyak istri yang berasal dari  putri tokoh-tokoh penting yang berpengaruh di daerahnya dan mempunyai  anak sebanyak 40 orang.  
Pada masa pemerintahan  Geusan Ulun, di pulau Jawa ini mulai tumbuh pusat-pusat Kekuasaan baru  seperti di Jawa tengah tumbuh kerajaan Mataram yang berhasrat untuk  mengembangkan pengaruhnya ke daerah Priangan termasuk Cirebon dan  Kuningan, sedangkan disebelah barat, Jayakarta telah jatuh ketangan  kekuasaan asing VOC ( Belanda ) dan disana mendirikan kekuasaan yaitu  Batavia.  
Setelah Geusan Ulun Meninggal tahun  1650 M dan dimakamkan di Astana Gede Kuningan, maka timbul pembagian  kekuasaan diantara saudara-saudaranya yang lain di pusat kota Kuningan  dipegang oleh Dalem Mangkubumi sedangkan yang lainnya sebanyak 28 orang  menempati tempat-tempat kedudukan seperti dapat diketahui dari nama  julukannya atau tempat pemakamannya yaitu Dalem :  
Mangkubumi  dimakamkan di Purwawinangun, Citangtu ,Panyilih, Pasawahan, Koncang,  Trijaya, Kasturi, Dago Jaya, Winduherang, Salahonje, Nayapati, Karawang.  Amonggati, Cihideung, Cengal,Keko, Paduraksa, Cigugur, Tembong,  Cikondang, Cibinuang, Maruyung, Balostrong, Tarka,Haur Kuning, Wirajaya,  Mangku, Cigadung dan dalem Cageur.  
Adapun Anak  Geusan Ulun yang tidak memegang pemerintahan adalah Nyai Panembahan  Girilaya, Nyai Kuwu Cirebon Girang, Adipati Ukur, Nyai Gedeng Pamuragan,  Nyai Aria Salingsingan, Nyai Musti, Nyai Dalem Sumedang, Dipati  Barangbang, Dewi Ratna Campaka, Nyai Gedeng Anggadiraksa dan Nyai Gedeng  Jati.  
Sesudah Kuningan dibagi dengan 29  Kabupaten yang masing-masing dipimpin oleh seorang Dalem dari keturunan  Geusan Ulun. Daerah Kuningan itu kemudian masuk wilayah kekuasaan  Mataram, selanjutnya dengan jatuhnya Cirebon dibawah kekuasaan VOC sejak  tahun 1682 M, malapetaka sebagai akibat sistem monopoli VOC juga  menimpa rakyat Kuningan.  
9. Memasuki abad 19  setelah pembubaran VOC, nasib rakyat tidak menjadi lebih baik dibawah  kekuasaan Gupernemen Hindia Belanda. Pada tanggal 2 Pebruari 1809 M ,  Daendeles mengeluarkan peraturan mengenai pengurusan tanah-tanah Cirebon  dan para Sultan menjadi pegawai Belanda dengan pangkat /jabatan Bupati  dan Wedana. Didaerah Kuningan ada beberapa orang Tumenggung yang  dibawahi oleh Sultan Kasepuhan antara lain Kuningan dan Cikaso.  Kekuasaan para sultan dihapuskan oleh Raffles dan diangkat Bupati-bupati  dari pegawai biasa dalam pemerintahan. Pada tanggal 15 Januari 1819 M,  dikeluarkan keputusan Komisaris Jendral No. 23 untuk membentuk Kabupaten  Kuningan, tetapi wilayah administrasinya baru meliputi bagian selatan  wewengkon Kabupaten Kuningan yang sekarang.  
10.  Pada abad 20 mulai didirikan sekolah untuk rakyat biasa di Kuningan.  Pengaruh kebangkitan nasional lambat laun masuk dan meluas serta  menggerakan Rakyat dalam organisasi pergerakan politik dan sosial.  
Keruntuhan  Hindia Belanda oleh Jepang membuka penderitaan rakyat yang tidak kurang  kejamnya dari pada masa sebelumnya, tetapi orang Kuningan dalam  keluarga besar bangsa Indonesia dibuat lebih siap untuk menyongsong  kemerdekaan. Dalam perjuangan bangsa Indonesia membela proklamasi dan  mempertahan NKRI ternyata para pejuang Kuningan dengan dukungan segala  lapisan masyarakat mempunyai saham  cukup besar. Katakanlah Linggarjati  membuat lembaran sejarah nasional, kemudian Ciwaru melakukan peranan  penting dibidang perjuangan Pemerintahan sipil dengan dijadikannya Pusat  Pemerintahan Karesidenan Cirebon dalam menghadapi agresi I dalam perang  kolonial Belanda. Dibidang militer, Sagarahiang selama Agresi I dan II  menjadi pusat koordinasi perjuangan dalam perang gerilya.  
Dalam  Masa RIS rakyat Kuningan memelopori Likwiditas Negara Pasundan untuk  mengembalikan Jawa Barat dalam pangkuan RI. Sesudah lewat masa revolusi  fisik dan memasuki tahun lima puluhan, masalah politik,ekonomi dan  sosial, termasuk kedalamnya situasi keamanan oleh gangguan DI/TII serta  kemudian aksi-aksi sepihak yang dihasut oleh agitasi PKI sampai  terjadinya kudeta terkenal G30 S/PKI membuat pembangunan terbengkalai.  Baru setelah tahun 1966 M sampai dengan sekarang pembangunan baru dapat  dilaksanakan dengan lebih baik, tertata dan berkesinambungan, ini semua  tentu dalam rangka mengisi arti kemerdekaan dan mensejahterakan  masyarakat.  
Sejarah Kota Ciamis
Menurut sejarawan W.J Van der Meulen, Pusat Asli Daerah (kerajaan)  Galuh, yaitu disekitar Kawali (Kabupaten Ciamis sekarang). Selanjutnya  W.J Van der Meulen berpendapat bahwa kata "galuh", berasal dari kata  "sakaloh" berarti "dari sungai asalnya", dan dalam lidah Banyumas  menjadi "segaluh". Dalam Bahasa Sansekerta, kata "galu" menunjukkan  sejenis permata, dan juga biasa dipergunakan untuk menyebut puteri raja  (yang sedang memerintah) dan belum menikah. 
Sebagaimana riwayat kota-kabupaten lain di Jawa Barat, sumber-sumber  yang menceritakan asal-usul suatu daerah pada umumnya tergolong  historiografi tradisional yang mengandung unsur-unsur mitos, dongeng  atau legenda disamping unsur yang bersifat historis. Naskah-naskah ini  antara lain Carios Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, Wawacan Sajarah  Galuh, dan juga naskah Sejarah Galuh bareng Galunggung, Ciung Wanara,  Carita Waruga Guru, Sajarah Bogor. Naskah-naskah ini umumnya ditulis  pada abad ke-18 hingga abad ke-19. Adapula naskah-naskah yang sezaman  atau lebih mendekati zaman Kerajaan Galuh. Naskah-naskah tersebut,  diantaranya Sanghyang Siksakanda ‘Ng Karesian, ditulis tahun 1518,  ketika Kerajaan Sunda masih ada dan Carita Parahyangan, ditulis tahun  1580. 
Berdirinya Galuh sebagai kerajaan, menurut naskah-naskah kelompok  pertama tidak terlepas dari tokoh Ratu Galuh sebagai Ratu Pertama. Dalam  laporan yang ditulis Tim Peneliti Sejarah Galuh (1972), terdapat  berbagai nama kerajaan sebagai berikut: Kerajaan Galuh Sindula (menurut  sumber lain, Kerajaan Bojong Galuh) yang berlokasi di Lakbok dan  beribukota Medang Gili (tahun 78 Masehi?); Kerajaan Galuh Rahyang  berlokasi di Brebes dengan ibukota Medang Pangramesan; Galuh Kalangon  berlokasi di Roban beribukota Medang Pangramesan; Galuh Lalean berlokasi  di Cilacap beribukota di Medang Kamulan; Galuh Pataruman  berlokasi di  Banjarsari beribukota Banjar Pataruman; Galuh Kalingga berlokasi di  Bojong beribukota Karangkamulyan; Galuh Tanduran berlokasi di Pananjung  beribukota Bagolo; Galuh Kumara berlokasi di Tegal beribukota di  Medangkamulyan; Galuh Pakuan beribukota di Kawali; Pajajaran berlokasi  di Bogor beribukota Pakuan; Galuh Pataka berlokasi di Nanggalacah  beribukota Pataka; Kabupaten Galuh Nagara Tengah berlokasi di Cineam  beribukota Bojonglopang kemudian Gunungtanjung; Kabupaten Galuh  Imbanagara berlokasi di Barunay (Pabuaran) beribukota di Imbanagara dan  Kabupaten Galuh berlokasi di Cibatu beribukota di Ciamis (sejak tahun  1812). 
Untuk penelitian secara historis, kapan Kerajaan Galuh didirikan,  dapat dilacak dari sumber-sumber sezaman berupa prasasti. Ada prasasti  yang memuat nama "Galuh", meskipun nama tanpa disertai penjelasan  tentang lokasi dan waktunya. Dalam prasasti berangka tahun 910, Raja  Balitung disebut sebagai "Rakai Galuh". Dalam Prasasti Siman berangka  tahun 943, disebutkan bahwa "kadatwan rahyangta I mdang I bhumi mataram  ingwatu galuh". Kemudian dalam sebuah Piagam Calcutta disebutkan bahwa  para musuh penyerang Airlangga lari ke Galuh dan Barat, mereka  dimusnahkan pada tahun 1031 Masehi. Dalam beberapa prasasti di Jawa  Timur dan dalam Kitab Pararaton (diperkirakan ditulis pada abad ke-15),  disebutkan sebuah tempat bernama "Hujung Galuh" yang terletak di tepi  sungai Brantas. Nama Galuh sebagai ibukota disebut berkali-kali dalam  naskah sebuah prasasti berangka tahun 732, ditemukan di halaman  Percandian Gunung Wukir di Dukuh Canggal (dekat Muntilan sekarang). 
Pada bagian carita Parahyangan, disebutkan bahwa Prabu Maharaja  berkedudukan di Kawali. Setelah menjadi raja selama tujuh tahun, pergi  ke Jawa  terjadilah perang di Majapahit. Dari sumber lain diketahui  bahwa Prabu Hayam Wuruk, yang baru naik tahta pada tahun 1350, meminta  Puteri Prabu Maharaja untuk menjadi isterinya. Hanya saja, konon, Patih  Gajah Mada menghendaki Puteri itu menjadi upeti. Raja Sunda tidak  menerima sikap arogan Majapahit ini dan memilih berperang hingga gugur  dalam peperangan di Bubat. Puteranya yang bernama Niskala Wastu Kancana  waktu itu masih kecil. Oleh karena itu kerajaan dipegang Hyang Bunisora  beberapa waktu sebelum akhirnya diserahkan kepada Niskala Wastu Kancana  ketika sudah dewasa. Keterangan mengenai Niskala Wastu Kancana, dapat  diperjelas dengan bukti berupa Prasasti Kawali dan Prasasti Batutulis  serta Kebantenan. 
Pada tahun 1595, Galuh jatuh ke tangan Senapati dari Mataram. Invasi  Mataram ke Galuh semakin diperkuat pada masa Sultan Agung. Penguasa  Galuh, Adipati Panaekan, diangkat menjadi Wedana Mataram dan cacah  sebanyak 960 orang. Ketika Mataram merencanakan serangan terhadap VOC di  Batavia pada tahun 1628, massa Mataram di Priangan bersilang pendapat.  Rangga Gempol I dari Sumedang misalnya, menginginkan pertahanan  diperkuat dahulu, sedangkan Dipati Ukur dari Tatar Ukur, menginginkan  serangan segera dilakukan. Pertentangan terjadi juga di Galuh antara  Adipati Panaekan dengan adik iparnya Dipati Kertabumi, Bupati di  Bojonglopang, anak Prabu Dimuntur keturunan Geusan Ulun dari Sumedang.  Dalam perselisihan tersebut Adipati Panaekan terbunuh tahun 1625. Ia  kemudian diganti puteranya Mas Dipati Imbanagara yang berkedudukan di  Garatengah (Cineam sekarang).  
Pada masa Dipati Imbanagara, ibukota Kabupaten Galuh dipindahkan  dari Garatengah (Cineam) ke Calingcing. Tetapi tidak lama kemudian  dipindahkan ke Bendanagara (Panyingkiran). Pada Tahun 1693, Bupati  Sutadinata diangkat VOC sebagai Bupati Galuh menggantikan Angganaya.  Pada tahun 1706, ia digantikan pula oleh Kusumadinata I (1706-1727). 
Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada masa pemerintahan R.A.A.  Kusumadiningrat menjadi Bupati Galuh, pemerintah kolonial sedang  giat-giatnya melaksanakan tanam paksa. Rakyat yang ada di Wilayah Galuh,  disamping dipaksa menanam kopi juga menanam nila. Untuk meringankan  beban yang harus ditanggung rakyat, R.A.A. Kusumadiningrat yang dikenal  sebagai "Kangjeng Perbu" oleh rakyatnya, membangun saluran air dan  dam-dam untuk mengairi daerah pesawahan. Sejak Tahun 1853, Kangjeng  Perbu tinggal di kediaman yang dinamai Keraton Selagangga.  
Antara tahun 1859-1877, dilakukan pembangunan gedung di ibu kota  kabupaten. Disamping itu perhatiannya terhadap pendidikan pun sangat  besar pula. Kangjeng Perbu memerintah hingga tahun 1886, dan jabatannya  diwariskan kepada puteranya yaitu Raden Adipati Aria Kusumasubrata. 
Pada tahun 1915, Kabupaten Galuh dimasukkan ke Keresidenan Priangan, dan secara resmi namanya diganti menjadi Kabupaten Ciamis. 
Sumber: Nina H. Lubis, Sejarah Kota-kota Lama di Jawa Barat, tahun 2000. 
Sejarah Kota Cirebon III
Keraton Kecirebonan dibangun pada tanggal 1800, Keraton ini banyak menyimpan benda-benda peninggalan sejarah seperti Keris Wayang perlengkapan Perang, Gamelan dan lain-lain.
Seperti halnya Keraton Kesepuhan dan Keraton Kanoman, Keraton Kecirebonan pun tetap menjaga, melestarikan serta melaksanakan kebiasaan dan upacara adat seperti Upacara Pajang Jimat dan sebagainya.
SILSILAH SULTAN KERATON KACERIBONAN
1. Pangeran Pasarean
2. Pangeran di Jati Carbon
3. Panembahan Ratu Pangeran di Pati Anom Carbon
4. Pangeran di Pati Anom Carbon
5. Panembahan Girilaya
6. Sultan Moh Badridini Kanoman
7. Sultan Anom Raja Mandurareja Kanoman
8. Sultan Anom Alimudin
9. Sultan Anom Moh Kaerudin
10. Sultan Carbon Kaeribonan
11. Pangeran Raja Madenda
12. Pangeran Raja Denda Wijaya
13. Pangeran Raharja Madenda
14. Pangeran Raja Madenda
15. Pangeran Sidek Arjaningrat
16. Pangeran Harkat Nata Diningrat
17. Pangeran Moh Mulyono Ami Natadiningrat
18. KGPH Abdulgani Nata Diningrat Dekarangga
Gua Sunyaragi Cirebon.
Lebih kurang 5 Km ke arah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya dikelurahan Graksan, terhampar bangunan yang unik. Areal bangunan ini dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spritual yang merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah Cirebon, Pembangunannya dilakukan pada tahun 1703, sedangkan gagasannya berasal dari benak Sang Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminta sejarah dan kebudayaan. Karya legendaris lainnya yaitu kitab sejarah “Purwaka Caruban” yang berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau Ragi berarti jasmani.
Taman Gua Sunyaragi ini sebenarnya merupakan komplek bangunan kuno yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti terdiri dari satu bangunan tambahan yaitu :
1. Gua Pengawal
2. Gua Pande Kemasan
3. Gua Simayang
4. Bangsal Jinem
5. Gua Pawon
6. Mande Beling
7. Gua Lawa
8. Gua Padang Ati
9. Gua Kelanggengan
10. Gua Peteng
11. Bale Kambang
12. Gua Arga Jumut
Taman Wisata Sakral di Kota Cirebon.
Tempat Penyebaran Agama Islam dan Gua PertapaanKereta Kencana Singa Barong milik Sunan Gunung Jati. Kereta hias, dulunya dipakai sebagai kendaraan Sunan. Ornamen Kereta Kencana penuh dengan perpaduan budaya, Jawa Kuno, Tiongkok, India, dan Mesir. Kereta Kencana Singa Barong ini juga menjadi simbol persahabatan.
Dulu, sebuah istana megah bernama Keraton Kasepuhan, kediaman Raja Sunan Gunung Jati atau Syekh Syarief Hidayat berdiri kokoh di atas tanah seluas 185.500 meter persegi. Keraton Kasepuhan yang terletak di Cirebon, Jawa Barat ini pernah menjadi tempat sakral bagi masyarakat sekitar. Dari keraton inilah penyebaran agama Islam bermula.
Kini, istana megah itu tak ubahnya seperti rerun- tuhan bebatuan. Sebagian besar ruangan di Keraton Kasepuhan tidak berbentuk lagi. Hanya tumpukan batu bata merah dan bebatuan yang ada di keraton ini. Kabarnya, untuk merenovasi Keraton Kasepuhan dibutuhkan biaya sekitar Rp 50 juta per bulan.
Sayangnya, biaya renovasi tidak mampu diberikan Pemerintah Kota (Pemkot) Cirebon. Kepala Unit Pelaksana Teknis Pusat Informasi Pariwisata, Yatna Supriyatna menuturkan, dana cagar budaya untuk Kota Cirebon hanya Rp 70 juta per bulan. Dana digunakan untuk semua tempat bersejarah di Cirebon. Jadi, tidak mungkin bila Rp 50 juta diberikan khusus untuk renovasi Keraton Kasepuhan saja.
“Keraton Kasepuhan memang tempat bersejarah utama di Kota Cirebon. Namun, kami belum mampu melakukan renovasi total. Dananya belum cukup,” ujar Yatna saat ditemui di Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jawa Barat, pada 14 Oktober lalu.
Keraton Kasepuhan, adalah sebuah tempat bersejarah di Kota Cirebon. Dari Jakarta, kota kecil ini hanya berjarak tiga jam perjalanan dengan kereta api. Sementara itu, bila menggunakan mobil dari Jakarta-Cirebon sekitar empat-lima jam. Cirebon juga kaya ragam budaya, karena menjadi persimpangan lalu lintas niaga. Letak Cirebon persis berada di perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Sedangkan untuk sampai ke Keraton Kasepuhan, dari terminal Harjamukti membutuhkan waktu 20 menit menggunakan becak. Pilihan lainnya, bisa menggunakan becak dari stasiun Kejaksaan ke arah selatan selama 30 menit saja.
Masuk ke wilayah Keraton Kasepuhan, para wisatawan lokal dan mancanegara harus membayar uang masuk Rp 3.000 per orang. Keraton dibuka untuk umum mulai pukul 08.00-16.00 WIB. Setiap wisatawan mendapat seorang pemandu, yang sehari-hari bertugas sebagai abdi dalem keraton.
Keraton yang dikenal paling tua di Cirebon ini, awalnya bukan bernama Keraton Kasepuhan. Asal usul nama Keraton Kasepuhan terbilang panjang. Bangunan yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, dibangun oleh Pangeran Cakrabuwana, yakni putra mahkota Pajajaran. Keraton berdiri pada abad ke-15 atau tahun 1430. Keraton kemudian diserahkan kepada putrinya, Ratu Ayu Pakungwati. Mulanya, keraton diberi nama Keraton Pakungwati atau Dalem Agung Pakungwati.
Pakungwati kemudian menikah dengan sepupunya, Sunan Gunung Jati. Kehadiran Sunan Gunung Jati ternyata membawa sejarah baru di Jawa Barat. Nama Keraton Pakungwati berganti menjadi Keraton Kasepuhan. Pergantian nama dikarenakan sebutan Pakungwati dimuliakan. Sedangkan, nama Keraton Kasepuhan artinya tempat sepuh atau paling tua di Cirebon.
Kondisi Keraton Kasepuhan sekarang, memang sesuai dengan namanya. Bangunan tua itu tampak rapuh. Saat masuk ke pelataran Keraton Kasepuhan, jangan berharap bisa melihat kemewahan atau kemegahan sebuah istana. Kediaman para raja dan putri ini tak ubahnya seperti bangunan tua bersejarah, yang hanya menyimpan kenangan saja.
Memasuki pelataran keraton, terdapat podium bernama Siti Inggil yang berarti tanah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa Candi Bentar. Bentuk dari Siti Inggil memiliki makna spritual. Semisal, terdapat 20 tiang dalam Siti Inggil yang melambangkan 20 sifat Tuhan.
Dulu, Siti Inggil dipakai oleh Sunan Gunung Jati untuk melihat pertandingan. Dalam bangunan tersebut, Sunan juga kerap menggelar sidang bagi warga yang melanggar aturan. Sidang bisa langsung dilihat oleh seluruh warga Cirebon.
Keraton Kasepuhan memiliki banyak bagian, di antaranya Jinem Pangrawit tempat Sunan bertemu dengan tamu kehormatannya. Jinem Pangrawit terbagi dua bagian, yakni ruang tamu untuk para menteri dan bupati. Ruang tamu di desain unik. Corak budaya Jawa tidak tampak di ruangan tersebut. Jinem Pangrawit dipenuhi dengan hamparan keramik dan porselin dari Portugis, Tiongkok, dan Belanda.
Sunan Syekh Syarief, konon sangat mencintai perpaduan budaya Tiongkok, Portugis, India, dan Jawa. Jadi, semua barang-barang dan peralatan di Keraton Kasepuhan banyak bersentuhan dengan tiga negara tersebut. Keramik Tiongkok yang ada di Keraton, adalah hadiah dari kaisar Tiongkok kepada Sunan. Hadiah diterima saat Sunan menikah dengan putri kaisar bernama Tan Hong Tien Nio.
Keramik dan porselin dari Tiongkok ada sejak abad ke-15, sementara keramik dari Belanda baru ada pada abad ke-17. Kecintaan Sunan terhadap keramik dan porselin memang sangat besar. Terbukti, dinding dan lantai di ruang Jinem Pangrawit dipenuhi dengan keramik.
Sebuah ruang tamu di Keraton Kasepuhan bernama Jinem Pangrawit. Ruang tamu dipakai untuk menerima tamu kehormatan, yakni bupati dan para Menteri.
Pemisahan
Pada masa pemerintahan Sunan Syeh Syarief, juga diterapkan aturan yang tegas mengenai lelaki dan perempuan. Keraton atau tempat kediaman untuk perempuan tidak boleh bercampur dengan lelaki. Bahkan, di dalam area keraton terdapat satu tempat khusus yang tidak boleh dikunjungi kaum perempuan, termasuk istri Sunan sekalipun.
Tempat khusus dan sakral itu bernama Patilasan Pangeran Cakrabuwana Sunan Gunung Jati. Pada pintu masuk patilasan, jelas tertulis Wanita tidak boleh masuk. Dalam tempat ini, Syekh Syarief dan putra mahkota menyebarkan ajaran agama Islam kepada semua lelaki yang tinggal di keraton.
Konon, Patilasan Pangeran Cakrabuwana ini memang tidak boleh tersentuh oleh kaki perempuan. Apabila ada perempuan yang berani masuk, maka ia keluar membawa petaka. Bisa-bisa, perempuan tersebut gila atau hilang kesadaran.
“Dulu sempat seorang pengunjung wanita masuk ke dalam keraton Patilasan Cakrabuwana. Tidak lama, wanita itu hilang kesadaran. Jadi, sampai sekarang kami melarang pengunjung wanita masuk ke tempat sakral tersebut,” ujar abdi dalam keraton Ferry Jamaladdin.
Di bagian kanan Patilasan Cakrabuwana terdapat Patilasan Keraton Dalem Agung Pakungwati. Tempat tersebut dibangun khusus bagi permaisuri, dayang-dayang, dan kaum perempuan. Dulunya, keraton Pakungwati ini sangat asri dan indah. Konon para putri Sunan dan permaisuri memiliki ruang pemandian yang besar. Permaisuri dan putri bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk berendam dan mempercantik diri.
Sayangnya, keraton Pakungwati kini tak ubahnya seperti ruang kosong yang penuh dengan reruntuhan bebatuan. Tidak ada tanda-tanda pemeliharaan dari pemerintah daerah atas tempat bersejarah ini. Kamar sang permaisuri dan tempat pemandian pun tinggal puing-puing.
Bila dilihat dari kondisi keraton Kasepuhan, memang tidak jelas terbaca makna atau nilai sejarahnya. Namun, saat melihat ke dalam tempat penyimpanan benda-benda bersejarah barulah terasa. Ternyata, Sunan gemar mengoleksi benda berharga. Di area keraton, terdapat dua museum, yakni Museum Benda Kuno dan Museum Kereta Kencana Singa Barong.
Museum Benda Kuno, diisi oleh barang-barang pemberian dari kerabat Sunan. Keris berbagai jenis dan alat debus dari Banten, masih tersimpan di museum ini. Alat musik gamelan yang dulu dipakai oleh para penghibur Sunan juga masih tertata rapi.
Berbeda dengan Museum Benda Kuno, Museum Kereta Kencana Singa Barong diisi dengan benda-benda milik keluarga Sunan. Kereta Kencana Singa Barong menjadi peninggalan paling berharga di keraton tersebut. Kereta yang dibuat tahun 1549, oleh cucu Sunan, yakni Pangeran Mas Mohammad Arifin. Konon kereta tersebut dipakai saat kunjungan resmi.
Ornamen hias pada kereta sangat unik. Terdapat tiga perpaduan budaya pada kereta, yaitu Tiongkok, India, dan Mesir. Ornamen perpaduan budaya dapat dilihat dari belalai gajah yang melambangkan negara India, kepala naga artinya persahabatan dengan Tiongkok, dan badan Buroq yang berarti bersahabat dengan mesir.
Kereta Kencana Singa Barong, kini hanya boleh dinikmati lewat pandangan mata saja. Kereta hias resmi pensiun sejak tahun 1942. Kereta ini hanya boleh dikeluarkan setiap 1 Syawal, untuk dimandikan.
Masih berkaitan dengan Keraton Kasepuhan, terdapat sebuah taman air nan indah yang terletak di Barat Daya Keraton. Taman air tersebut bernama Taman Gua Sunyaragi. Taman, berdasarkan manuskrip Purwaka Caruban Nagari, didirikan oleh Pangeran Kararangan bergelar Arya Caruban, pada 1703. Konon pembangunan gua diteruskan oleh putra-putra Pangeran Arya, yakni Pangeran Carbon Martawijaya dan Pangeran Carbon Adiwijaya.
Taman Gua Sunyaragi tak ubahnya seperti gua-gua besar dipenuhi dengan lorong-lorong sempit. Lorong-lorong, dulunya dipakai sebagai tempat bertapa atau sekadar mencari ketenangan jiwa. Ditambah lagi, suasana di taman memang sepi karena jauh dari rumah masyarakat.
Taman Sunyaragi juga menjadi sumber pengairan utama atau irigasi ke Keraton Kasepuhan. Bahkan, dalam taman Sunyaragi terdapat sebuah lorong bawah tanah menuju keraton. Dilihat dari gaya, corak, dan motif-motif ragam rias dari pola-pola bangunan, bisa disimpulkan gaya arsitektur gua Sunyaragi merupakan perpaduan gaya Indonesia klasik atau Hindu, gaya Tiongkok kuno, gaya Timur Tengah atau Islam, dan gaya Eropa.
Sayangnya, keindahan Taman Gua Sunyaragi mulai pudar sejak pengelolaan diserahkan kepada pemerintah.
Keraton Kasepuhan Cirebon




KERATON KASEPUHAN yang terletak di Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemahwungkuk, Kota Cirebon merupakan keraton yang pertama sekali didirikan sekitar abad ke 13. Sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Cirebon pada masa itu.
Sebagai Keraton Kesultanan Cirebon yang pertama, Keraton Kasepuhan memiliki sejarah yang paling panjang dibanding ketiga keraton lainnya. Keraton ini juga memiliki wilayah kekeratonan yang terluas, wilayah kekeratonannya mencapai lebih dari 10 Ha. Keraton ini terletak di selatan alun-alun dengan Masjid Agung Sang Cipta Rasa di sebelah barat alun-alun.
Pada masa awal didirikannya yang pertama kali dibangun adalah bangunan Keraton Pakungwati I. Keraton Pakungwati dibangun menghadap ke arah Laut Jawa dan membelakangi Gunung Ciremai. Bangunan ini terdapat disebelah timur
bangunan Keraton Pakungwati II.
Banyak sejarah penting yang tersimpan di dalam keraton ini, serta benda peninggalan yang terdapat didalamnya seperti: sebuah tandu berbentuk makhluk berkepala burung dan berbadan ikan. Hal ini melambangkan “Setinggi-tingginya seorang pemimpin dalam kepemimpinannya tetap harus mampu melihat dan menyelami keadaan setiap rakyat yang berada dibawahnya”.
Rentetan perjalanan panjang dalam membangun sebuah pemerintahan pada masa itu. Keraton Kasepuhan sebagai keraton yang pertama ada di Cirebon. Hal ini menunjukan betapa besar peran serta pengaruh budaya Cirebon dalam membangun ekonomi pada masa pemerintahan Kesultanan saat itu.
Keraton Kasepuhan memang saat ini tidak lagi memegang dan menjalankan tampuk pemerintahan di Cirebon
seperti pada masa Kesultanan. Namun sebagai peninggalan budaya, Keraton Kasepuhan memiliki arti dan peran yang sangat penting dalam perjalanan panjangnya membangun budaya dan ekonomi Cirebon.
Keraton Kanoman – Cirebon
Keraton Kanoman merupakan pusat peradaban Kesultanan di Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon.Kebesaran Islam di Jawa Barat tidak lepas dari Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah orang yang bertanggung Jawab menyebarkan agama Islam di Jawa Barat, sehingga berbicara tentang Cirebon tidak akan lepas dari sosok Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Sunan Gunung Jati juga meninggalkan jejaknya yang hingga kini masih berdiri tegak, jejak itu bernama Kraton Kanoman. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal,seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara. Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah.
Kompleks Keraton Kanoman yang mempunyai luas sekitar 6 hektar ini berlokasi di belakang pasar Di Kraton ini tinggal sultan ke dua belas yang bernama raja Muhammad Emiruddin berserta keluarga. Kraton Kanoman merupakan komplek yang luas, yang terdiri dari dua puluh tujuh bangunan kuno. salah satunya saung yang bernama bangsal witana yang merupakan cikal bakal Kraton yang luasnya hampir lima kali lapangan sepakbola.
Di keraton ini masih terdapat barang barang Sunan Gunung Jati, seperti dua kereta bernama Paksi Naga Liman dan Jempana yang masih terawat baik dan tersimpan di museum. Bentuknya burak, yakni hewan yang dikendarai Nabi Muhammad ketika ia Isra Mi’raj. Tidak jauh dari kereta, terdapat bangsal Jinem, atau Pendopo untuk Menerima tamu, penobatan sultan dan pemberian restu sebuah acara seperti Maulid Nabi. Dan di bagian tengah Kraton terdapat komplek bangunan bangunan bernama Siti Hinggil.
Hal yang menarik dari Keraton di Cirebon adalah adanya piring-piring porselen asli Tiongkok yang menjadi penghias dinding semua keraton di Cirebon. Tak cuma di keraton, piring-piring keramik itu bertebaran hampir di seluruh situs bersejarah di Cirebon. Dan yang tidak kalah penting dari Keraton di Cirebon adalah keraton selalu menghadap ke utara. Dan di halamannya ada patung macan sebagai lambang Prabu Siliwangi. Di depan keraton selalu ada alun alun untuk rakyat berkumpul dan pasar sebagai pusat perekonomian, di sebelah timur keraton selalu ada masjid.
Menengok Koleksi Keraton Kanoman Cirebon.
Keraton Kanoman, disebut juga Kesultanan Kanoman, yang menjadi tujuan pertama di pagi hari pada penggal awal Mei lalu ternyata terletak tersembunyi di balik keramaian pasar. Memerlukan energi berlebih untuk mencapai tujuan sejak para penjual jambu biji asal Desa Pagartoya yang menjajakan dagangan di depan Vihara Pancar Keselamatan, menunjukkan arah menuju keraton. Maklum, kendaraan harus membelah kerumunan penjual sayur-sayuran dan buah-buahan yang meluap hingga ke badan jalan. Nyaris tak bisa jalan kalau tidak ada bantuan dari petugas parkir pasar.
Keraguan menyergap ketika mulai memasuki kawasan keraton. Lengang, sepi. Di bagian luar, bangunan-bangunan seperti pagar yang menjadi pembatas kawasan keraton, pintu gerbang, hingga bangsal paseban, tampak tak terawat. Rerumputan tumbuh meninggi di beberapa tempat di halaman.
Tak terbayangkan tempat itu menyimpan sejarah panjang tentang kepahlawanan, juga syiar Islam, jika tidak menatap baik-baik bangunan utama. Memang tidak sebesar bangunan-bangunan di Keraton Yogyakarta, atau Surakarta, namun masih memancarkan kharisma tersendiri. Pagi itu, di Bangsal Jinem, tempat yang dulu acap dipakai petinggi keraton menerima tamu penting, sedang ada acara keluarga.
Rasa penasaran menggiring langkah merambahi halamannya yang teduh. Memang tampak keistimewaan jika mengamati lebih teliti bangunan-bangunan pagar maupun pintu gerbangnya. Pagar tembok maupun gerbangnya berhiaskan piring-piring porselen yang cantik. Porselin-porselen asli dari Negeri Tiongkok, kata Muhammad Rais (70), Lurah Kesultanan Kanoman, pemandu tamu.
Daya tarik utama Keraton Kanoman baru bisa dinikmati ketika memasuki museum yang terletak di sisi kanan bangunan utama. Di bangunan yang tidak terlalu besar itu tersimpan peninggalan-peninggalan keraton, mulai dari kereta kerajaan, peralatan rumah tangga, hingga senjata kerajaan.
Beberapa koleksi tampak tidak utuh. Perhatian langsung tertuju kepada jajaran kereta. Paling menonjol adalah kereta Paksi Naga Liman. Kereta itu, seperti tertera dalam keterangan, dibuat dari kayu sawo pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi oleh Pangeran Losari. Rais menyebutnya sebagai kereta kebesaran Sunan Gunung Jati, leluhur Kesultanan Cirebon, yang memerintah 1479 – 1568.
Pemberian nama itu berkaitan dengan pahatan kayu di bagian depan yang menggambarkan gabungan bentuk paksi (burung), naga, dan liman (gajah) memegang senjata. Paduan bentuk itu melambangkan persatuan tiga unsur kekuatan di darat, laut, udara, menyimbolkan keutuhan wilayah.
Keistimewaannya terletak pada bagian sayap patung yang bisa membuka-menutup saat sedang berjalan, juga bentuk rodanya yang berbeda dengan roda pedati biasa. Roda kereta dibuat cekung ke dalam. Rais menjelaskan, konstruksi roda seperti itu sangat berguna jika melewati jalanan berlumpur yang basah. Kotoran tidak akan menciprat mengotori penumpangnya.
Kereta yang lain adalah Jempana, kereta kebesaran untuk permaisuri dengan hiasan bermotif batik Cirebon. Kereta berbahan kayu sawo itu juga dirancang dan dibuat atas arahan Pangeran Losari pada tahun yang sama.
Nilai kebesarannya langsung terbayangkan ketika Rais menceritakan kereta-kereta itu dulunya ditarik enam ekor kuda. Dengan bangga pula ia menceritakan seorang insinyur Eropa pernah secara khusus mempelajari konstruksi roda kereta-kereta kesultanan itu.
Kereta-kereta itu menempati bagian tengah ruangan. Bagian pinggir museum dipenuhi koleksi yang lain. Di antaranya koleksi wayang golek papak, kursi pengantin, gamelan, meja tulis lengkap dengan perlengkapan menulis daun lontar dan ijuk aren yang berfungsi sebagai alat menulis, kotak-kotak termasuk kotak dari Mesir. Di salah satu sudut, bisa dilihat koleksi senjata, mulai dari aneka pedang lokal dan pedang Eropa, keris, senjata api, aneka perisai, dan meriam.
Hasil penelusuran sejarah menyebutkan Keraton Kanoman adalah pusat peradaban Kesultanan Cirebon, yang kemudian terpecah menjadi Keraton Kanoman, Keraton Kasepuhan, Keraton Kacirebonan, dan Keraton Keprabon. Keraton Kanoman masih taat memegang adat-istiadat dan pepakem, di antaranya melaksanakan tradisi Grebeg Syawal, seminggu setelah Idul Fitri dan berziarah ke makam leluhur, Sunan Gunung Jati di Desa Astana, Cirebon Utara.
Peninggalan-peninggalan bersejarah di Keraton Kanoman erat kaitannya dengan syiar agama Islam yang giat dilakukan Sunan Gunung Jati, yang juga dikenal dengan Syarif Hidayatullah. Peninggalan sejarah kejayaan Islam masa lampau juga bisa ditemui di Tamansari Gua Sunyaragi, yang menjadi penutup acara berkeliling Kota Cirebon.
Kompleks bangunan yang didirikan pada 1852 di areal seluas 1,5 hektare itu, dulu merupakan tempat peristirahatan dan tempat menyepi Sultan Kasepuhan dan kerabatnya. Letaknya di Kelurahan Sunyaragi, 5 km sebelah barat pusat kota.
Banyak yang bisa dilihat, banyak yang bisa dipelajari. Sayang, bahkan pada hari Minggu pun peninggalan budaya leluhur itu sepi pengunjung
Sejarah Kota Sumedang
I. ASAL KATA “SUMEDANG”
Kata Sumedang berasal dari “inSUn MEdal insun maDANGan”, Insun artinya saya Medal artinya lahir Madangan artinya memberi penerangan jadi kata Sumedang bisa berarti “Saya lahir untuk memberi penerangan”. Kalimat “Insun Medal Insun Madangan” terucap ketika Prabu Tajimalela raja Sumedang Larang I melihat ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam. Kata Sumedang dapat juga diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.
II. ASAL MULA SUMEDANG
Asal mula Sumedang berasal dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih ( 678 – 721 M ) putra Aria Bima Raksa / Ki Balagantrang Senapati Galuh cucu dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Kerajaan Tembong Agung berada di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pada masa Prabu Tajimalela ( 721 – 778 M ) putra dari Guru Aji Putih di bekas Kerajaan Tembong Agung didirikan Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Masa kejayaan Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M) ketika pada masa pemerintahan Pangeran Santri / Pangeran Kusumahdinata I raja Sumedang Larang ke-8 ayah dari Prabu Geusan Ulun pada tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda Padjajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9. Ketika dinobatkan sebagai raja Prabu Geusan Ulun berusia + 23 tahun menggantikan ayahnya Pangeran Santri yang telah tua dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M kerajaan Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten
Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Pemberian pusaka Padjajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadinya Kabupaten Sumedang.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
III. DARI MASA KERAJAAN KE MASA KABUPATEN
Pada tahun 1601 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa, pada masa Aria Soeriadiwangsa kekuasaan Sumedang Larang di daerah sudah menurun dan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas kerajaan Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang pertama dan diberi gelar Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). Sumedang menjadi bagian dari wilayah Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap ; 1. Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, 2. menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan 3. menghindari pula serangan dari Cirebon dan VOC. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol I adalah Bupati Sumedang yang merangkap sebagai Bupati Wadana Priangan pertama (1601 – 1625 M).
Yang akhirnya wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun menjadi wilayah Sumedang sekarang. Berakhirlah sudah kerajaan Sunda terakhir Sumedang Larang di Jawa Barat Sumedang memasuki era baru yaitu Kabupaten pada tahun 1620 sampai sekarang. Sejak menjadi Kabupaten, Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai Pangeran Kornel.
IV. LETAK IBUKOTA KERAJAAN DAN KABUPATEN ( 678 – 1706 M )
BEKAS IBUKOTA KERAJAAN
BEKAS IBUKOTA KABUPATIAN
MASA PEMERINTAHAN
RAJA DAN BUPATI SUMEDANG
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
( kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri )
10. Pangeran Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun 1578 – 1601
II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 – 1706
III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 – 1761 19. Dalem Adipati Surianagara II 1761 – 1765 20. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773
IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791
V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946
VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950
(Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)
SEJARAH MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN.
Awal berdirinya Museum Prabu Geusan Ulun, diawali berdirinya “Yayasan Pangeran Aria Soeria Atmadja (YAPASA)”, yayasan yang mengurus, memelihara dan mengelola barang – barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang 1882 – 1919. Untuk melestarikan benda – benda wakaf tersebut YAPASA merencanakan untuk mendirikan Museum. Pada tahun 1973 YAPASA berubah nama menjadi Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) dan didirikan sebuah Museum yang bernama Museum Yayasan Pangeran Sumedang yang pada mulanya dibuka hanya untuk di lingkungan para wargi keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang.
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk mengganti nama Museum YPS. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun” –YPS.
Gedung pertama yang dipakai sebagai Museum adalah Gedung Gendeng
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk memberi nama Museum YPS yang disampaikan pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun”
Kata Sumedang berasal dari “inSUn MEdal insun maDANGan”, Insun artinya saya Medal artinya lahir Madangan artinya memberi penerangan jadi kata Sumedang bisa berarti “Saya lahir untuk memberi penerangan”. Kalimat “Insun Medal Insun Madangan” terucap ketika Prabu Tajimalela raja Sumedang Larang I melihat ketika langit menjadi terang-benderang oleh cahaya yang melengkung mirip selendang (malela) selama tiga hari tiga malam. Kata Sumedang dapat juga diambil juga dari kata Su yang berarti baik atau indah dan Medang adalah nama sejenis pohon, Litsia Chinensis sekarang dikenal sebagai pohon Huru, dulu pohon medang banyak tumbuh subur di dataran tinggi sampai ketinggi 700 m dari permukaan laut seperti halnya Sumedang merupakan dataran tinggi.
II. ASAL MULA SUMEDANG
Asal mula Sumedang berasal dari Kerajaan Tembong Agung yang didirikan oleh Prabu Guru Aji Putih ( 678 – 721 M ) putra Aria Bima Raksa / Ki Balagantrang Senapati Galuh cucu dari Wretikandayun pendiri Kerajaan Galuh. Kerajaan Tembong Agung berada di Citembong Girang Kecamatan Ganeas Sumedang kemudian pindah ke kampung Muhara Desa Leuwi Hideung Kecamatan Darmaraja. Pada masa Prabu Tajimalela ( 721 – 778 M ) putra dari Guru Aji Putih di bekas Kerajaan Tembong Agung didirikan Kerajaan Sumedang Larang. Sumedang Larang berarti tanah luas yang jarang bandingnya” (Su= bagus, Medang = luas dan Larang = jarang bandingannya).
Masa kejayaan Sumedang Larang pada masa pemerintahan Prabu Geusan Ulun (1578 – 1601 M) ketika pada masa pemerintahan Pangeran Santri / Pangeran Kusumahdinata I raja Sumedang Larang ke-8 ayah dari Prabu Geusan Ulun pada tanggal 22 April 1578 atau bulan syawal bertepatan dengan Idul Fitri di Keraton Kutamaya Sumedang Larang Pangeran Santri menerima empat Kandaga Lante yang dipimpin oleh Sanghiang Hawu atau Jaya Perkosa, Batara Dipati Wiradidjaya (Nganganan), Sangiang Kondanghapa, dan Batara Pancar Buana Terong Peot membawa pusaka Pajajaran dan alas parabon untuk di serahkan kepada penguasa Sumedang Larang pada waktu itu dan pada masa itu pula Pangeran Angkawijaya / Pangeran Kusumadinata II dinobatkan sebagai raja Sumedang Larang dengan gelar Prabu Geusan Ulun sebagai nalendra penerus kerajaan Sunda Padjajaran dan Raja Sumedang Larang ke-9. Ketika dinobatkan sebagai raja Prabu Geusan Ulun berusia + 23 tahun menggantikan ayahnya Pangeran Santri yang telah tua dan pada tanggal 11 Suklapaksa bulan Wesaka 1501 Sakakala atau tanggal 8 Mei 1579 M kerajaan Pajajaran “Sirna ing bumi” Ibukota Padjajaran jatuh ke tangan pasukan Kesultanan Surasowan Banten
Yang akhirnya Sumedang mewarisi wilayah bekas wilayah Padjajaran dengan wilayahnya meliputi seluruh Padjajaran sesudah 1527 masa Prabu Prabu Surawisesa dengan batas meliputi; Sungai Cipamali (daerah Brebes sekarang) di sebelah timur, Sungai Cisadane di sebelah barat, Samudra Hindia sebelah Selatan dan Laut Jawa sebelah utara. Daerah yang tidak termasuk wilayah Sumedang Larang yaitu Kesultanan Banten, Jayakarta dan Kesultanan Cirebon. Dilihat dari luas wilayah kekuasaannya, wilayah Sumedang Larang dulu hampir sama dengan wilayah Jawa Barat sekarang tidak termasuk wilayah Banten dan Jakarta kecuali wilayah Cirebon sekarang menjadi bagian Jawa Barat. sehingga Prabu Geusan Ulun mendapat restu dari 44 penguasa daerah Parahiyangan yang terdiri dari 26 Kandaga Lante, Kandaga Lante adalah semacam Kepala yang satu tingkat lebih tinggi dari pada Cutak (Camat) dan 18 Umbul dengan cacah sebanyak + 9000 umpi. Pemberian pusaka Padjajaran pada tanggal 22 April 1578 akhirnya ditetapkan sebagai hari jadinya Kabupaten Sumedang.
Peristiwa penobatan Prabu Geusan Ulun sebagai Cakrawarti atau Nalendra merupakan kebebasan Sumedang untuk mengsejajarkan diri dengan kerajaan Banten dan Cirebon. Arti penting yang terkandung dalam peristiwa itu ialah pernyataan bahwa Sumedang menjadi ahli waris serta penerus yang sah dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran di Bumi Parahiyangan. Pusaka Pajajaran dan beberapa atribut kerajaan yang dibawa oleh Senapati Jaya Perkosa dari Pakuan dengan sendirinya dijadikan bukti dan alat legalisasi keberadaan Sumedang, sama halnya dengan pusaka Majapahit menjadi ciri keabsahan Demak dan Mataram.
III. DARI MASA KERAJAAN KE MASA KABUPATEN
Pada tahun 1601 Prabu Geusan Ulun wafat dan digantikan oleh putranya Pangeran Aria Soeriadiwangsa, pada masa Aria Soeriadiwangsa kekuasaan Sumedang Larang di daerah sudah menurun dan Mataram melakukan perluasan wilayah ke segala penjuru tanah air termasuk ke Sumedang. Pada waktu itu Sumedang Larang sudah tidak mempunyai kekuatan untuk melawan yang akhirnya Pangeran Aria Soeriadiwangsa pergi ke Mataram untuk menyatakan Sumedang menjadi bagian wilayah Mataram pada tahun 1620. Wilayah bekas kerajaan Sumedang Larang diganti nama menjadi Priangan yang berasal dari kata “Prayangan” yang berarti daerah yang berasal dari pemberian yang timbul dari hati yang ikhlas dan Pangeran Aria Soeriadiwangsa diangkat menjadi Bupati Sumedang pertama dan diberi gelar Rangga Gempol I (1601 – 1625 M). Sumedang menjadi bagian dari wilayah Mataram karena Pangeran Aria Soeriadiwangsa I mengganggap ; 1. Sumedang sudah lemah dari segi kemiliteran, 2. menghindari serangan dari Mataram karena waktu itu Mataram memperluas wilayah kekuasaannya dari segi kekuatan Mataram lebih kuat daripada Sumedang dan 3. menghindari pula serangan dari Cirebon dan VOC. Sultan Agung kemudian membagi-bagi wilayah Priangan menjadi beberapa Kabupaten yang masing-masing dikepalai seorang Bupati, untuk koordinasikan para bupati diangkat seorang Bupati Wadana. Pangeran Rangga Gempol I adalah Bupati Sumedang yang merangkap sebagai Bupati Wadana Priangan pertama (1601 – 1625 M).
Yang akhirnya wilayah Sumedang Larang pada masa Prabu Geusan Ulun menjadi wilayah Sumedang sekarang. Berakhirlah sudah kerajaan Sunda terakhir Sumedang Larang di Jawa Barat Sumedang memasuki era baru yaitu Kabupaten pada tahun 1620 sampai sekarang. Sejak menjadi Kabupaten, Bupati yang memimpin Sumedang sampai tahun 1949 merupakan keturunan langsung dari Prabu Geusan Ulun (lihat masa pemerintahan) tetapi pada tahun 1773 – 1791 yang menjadi Bupati Sumedang adalah Bupati penyelang / sementara dari Parakan Muncang. Menggantikan putra Bupati Surianagara II yang belum menginjak dewasa Rd. Djamu atau terkenal sebagai Pangeran Kornel.
IV. LETAK IBUKOTA KERAJAAN DAN KABUPATEN ( 678 – 1706 M )
BEKAS IBUKOTA KERAJAAN
| No. | NAMA TEMPAT | TAHUN | MASA PEMERINTAHAN | KETERANGAN | 
| 1. | Tembong Agung – Leuwi Hideung Darmaraja | 678 – 893 | - Prabu Guru   Aji Putih - Prabu   Tajimalela. - Prabu Lembu Agung  | - Raja Tembong   Agung. - Raja   Sumedang Larang 1 - Raja Sumedang Larang 2  | 
| 2. | Ciguling – Pasanggrahan Sumedang Selatan | 893 – 1530 | - Prabu Gajah   Agung. - Prabu   Pagulingan. - Sunan Guling. - Prabu Tirtakusumah. - Nyi Mas Patuakan  | - Raja   Sumedang Larang 3 - Raja   Sumedang Larang 4 - Raja Sumedang Larang 5 - Raja Sumedang Larang 6 - Raja Sumedang Larang 7  | 
| 3. | Kutamaya – Padasuka | 1530 – 1578 | Ratu Pucuk Umum / Pangeran Santri | - Raja Sumedang Larang 8 | 
| 4. | Dayeuh Luhur – Ganeas | 1578 – 1601 | Prabu Geusan Ulun | - Raja Sumedang Larang 9 | 
| No. | NAMA TEMPAT | TAHUN | MASA PEMERINTAHAN | 
| 1. | Tegal Kalong – Sumedang Utara | 1601 – 1625 | Rangga Gempol I. | 
| 2. | Canukur Sukatali – Situraja | 1601 – 1625 | Rangga Gede | 
| 3. | Parumasan | 1625 – 1633 | Rangga Gede. | 
| 4. | Tenjo Laut Cidudut – Conggeang | 1633 – 1656 | Rangga Gempol II | 
| 5. | Sulambitan – Sumedang Selatan | 1656 – 1706 | Pangeran Panembahan | 
| 6. | Regol Wetan – Sumedang Selatan | 1706 – sekarang | Dalem Adipati Tanumadja | 
RAJA DAN BUPATI SUMEDANG
I. MASA KERAJAAN.
1. Prabu Guru Aji Putih (Raja Tembong Agung) 678 – 721
2. Batara Tuntang Buana / Prabu Tajimalela. 721 – 778
3. Jayabrata / Prabu Lembu Agung 778 – 893
4. Atmabrata / Prabu Gajah Agung. 893 – 998
5. Jagabaya / Prabu Pagulingan. 998 – 1114
6. Mertalaya / Sunan Guling. 1114 – 1237
7. Tirtakusuma / Sunan Tuakan. 1237 – 1462
8. Sintawati / Nyi Mas Ratu Patuakan. 1462 – 1530
9. Satyasih / Ratu Inten Dewata Pucuk Umum 1530 – 1578
( kemudian digantikan oleh suaminya Pangeran Kusumadinata I / Pangeran Santri )
10. Pangeran Kusumahdinata II / Prabu Geusan Ulun 1578 – 1601
II. MASA BUPATI PENGARUH MATARAM.
11. Pangeran Suriadiwangsa / Rangga Gempol I 1601 – 1625
12. Pangeran Rangga Gede / Kusumahdinata IV 1625 – 1633
13. Raden Bagus Weruh / Pangeran Rangga Gempol II. 1633 – 1656
14. Pangeran Panembahan / Rangga Gempol III 1656 – 1706
III. MASA PENGARUH KOMPENI VOC.
15. Dalem Adipati Tanumadja. 1706 – 1709
16. Pangeran Karuhun / Rangga Gempol IV 1709 – 1744
17. Dalem Istri Rajaningrat 1744 – 1759
18. Dalem Adipati Kusumadinata VIII / Dalem Anom. 1759 – 1761 19. Dalem Adipati Surianagara II 1761 – 1765 20. Dalem Adipati Surialaga. 1765 – 1773
IV. MASA BUPATI PENYELANG / SEMENTARA
21. Dalem Adipati Tanubaya 1773 – 1775
22. Dalem Adipati Patrakusumah 1775 – 1789
23. Dalem Aria Sacapati. 1789 – 1791
V. MASA PEMERINTAHAN BELANDA.
Merupakan Bupati Keturunan Langsung leluhur Sumedang.
24. Pangeran Kusumadinata IX / Pangeran Kornel. 1791 – 1828
25. Dalem Adipati Kusumayuda / Dalem Ageung. 1828 – 1833
26. Dalem Adipati Kusumadinata X / Dalem Alit. 1833 – 1834
27. Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 – 1836
28. Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Sugih. 1836 – 1882
29. Pangeran Aria Suriaatmadja / Pangeran Mekkah. 1882 – 1919
30. Dalem Adipati Aria Kusumadilaga / Dalem Bintang. 1919 – 1937
31. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1937 – 1946
VI. MASA REPUBLIK INDONESIA
32. Tumenggung Aria Suria Kusumahdinata / Dalem Aria. 1945 – 1946
33. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1946 – 1947
34. R. Tumenggung Mohammad Singer. 1947 – 1949
35. R. Hasan Suria Sacakusumah. 1949 – 1950
(Bupati terakhir keturunan langsung leluhur Sumedang)
SEJARAH MUSEUM PRABU GEUSAN ULUN.
Awal berdirinya Museum Prabu Geusan Ulun, diawali berdirinya “Yayasan Pangeran Aria Soeria Atmadja (YAPASA)”, yayasan yang mengurus, memelihara dan mengelola barang – barang wakaf Pangeran Aria Soeria Atmadja Bupati Sumedang 1882 – 1919. Untuk melestarikan benda – benda wakaf tersebut YAPASA merencanakan untuk mendirikan Museum. Pada tahun 1973 YAPASA berubah nama menjadi Yayasan Pangeran Sumedang (YPS) dan didirikan sebuah Museum yang bernama Museum Yayasan Pangeran Sumedang yang pada mulanya dibuka hanya untuk di lingkungan para wargi keturunan dan seketurunan Leluhur Pangeran Sumedang.
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk mengganti nama Museum YPS. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun” –YPS.
Gedung pertama yang dipakai sebagai Museum adalah Gedung Gendeng
Pada tanggal 7 – 13 Maret 1974 di Sumedang diadakan Seminar Sejarah Jawa Barat yang dihadiri oleh para ahli-ahli sejarah Jawa Barat. Pada kesempatan yang baik itu Sesepuh YPS dan Sesepuh Wargi Sumedang mengusulkan untuk memberi nama Museum YPS yang disampaikan pada forum Seminar Sejarah Jawa Barat. Dan salah satu hasil dari Seminar Sejarah Jawa Barat tersebut dapat diputuskan dan ditetapkan untuk memberi nama Museum YPS, diambil dari nama seorang tokoh yang karismatik yaitu Raja pertama dan terakhir Kerajaan Sumedanglarang yang bernama “Prabu Geusan Ulun”. Maka pada tanggal 13 Maret 1974 Museum YPS diberi nama menjadi Museum “Prabu Geusan Ulun”
Sejarah Kota Cirebon
Asal kota Cirebon ialah pada abad ke 14 di pantai  utara Jawa Barat ada desa nelayan kecil yang bernama Muara Jati yang  terletak di lereng bukit Amparan Jati. Muara Jati adalah pelabuhan  nelayan kecil. Penguasa kerajaan Galuh yang ibu kotanya Rajagaluh  menempatkan seorang sebagai pengurus pelabuhan atau syahbandar Ki Gedeng  Tapa. Pelabuhan Muara Jati banyak di singgahi kapal-kapal dagang dari  luar di antaranya kapal Cina yang datang untuk berniaga dengan penduduk  setempat, yang di perdagangkannya adalah garam, hasil pertanian dan  terasi.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran
kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar — sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Kemudian Ki Gendeng Alang-alang mendirikan sebuah pemukiman di lemahwungkuk yang letaknya kurang lebih 5 km, ke arah Selatan dari Muara Jati. Karena banyak saudagar dan pedangan asing juga dari daerah-daer5ah lain yang bermukim dan menetap maka daerah itu di namakan Caruban yang berarti campuran
kemudian berganti Cerbon kemudian menjadi Cirebon hingga sekarang.
Raja Pajajaran Prabu Siliwanggi mengangkat Ki Gede Alang-alang sebagai kepala pemukiman baru ini dengan gelar Kuwu Cerbon. Daerahnya yang ada di bawah pengawasan Kuwu itu dibatasi oleh Kali Cipamali di sebelah Timur, Cigugur (Kuningan) di sebelah Selatan, pengunungan Kromong di sebelah Barat dan Junti (Indramayu) di sebelah Utara.
Setelah Ki Gedeng Alang-alang wafat kemudian digantikan oleh menantunya yang bernama Walangsungsang putra Prabu Siliwanggi dari Pajajaran. Walangsungsang ditunjuk dan diangkat sebagai Adipati Carbon dengan gelar Cakrabumi. Kewajibannya adalah membawa upeti kepada Raja di ibukota Rajagaluh yang berbentuk hasil bumi, akan tetapi setelah merasa kuat meniadakan pengiriman upeti, akibatnya Raja mengirim bala tentara, tetapi Cakrabumi berhasil mempertahankannya.
Kemudian Cakrabumi memproklamasikan kemerdekaannya dan mendirikan kerajaan Cirebon dengan mamakai gelar Cakrabuana. Karena Cakrabuana telah memeluk agama Islam dan pemerintahannya telah menandai mulainya kerajaan kerajaan Islam Cirebon, tetapi masih tetap ada hubungan dengan kerajaan Hindu Pajajaran.
Semenjak itu pelabuhan kecil Muara Jati menjadi besar, karena bertambahnya lalu lintas dari dan ke arah pedalaman, menjual hasil setempat sejauh daerah pedalaman Asia Tengara. Dari sinilah awal berangkat nama Cirebon hingga menjadi kota besar sampai sekarang ini.
Pangeran Cakra Buana kemudian membangun Keraton Pakungwati sekitar Tahun 1430 M, yang letaknya sekarang di dalam Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon.
Ringkasan.
Keraton Kasepuhan adalah keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Makna di setiap sudut arsitektur keraton ini pun terkenal paling bersejarah. Halaman depan keraton ini dikelilingi tembok bata merah dan terdapat pendopo didalamnya.
Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda pusaka dan lukisan koleksi kerajaan. Salah satu koleksi yang dikeramatkan yaitu kereta Singa Barong. Kereta ini saat ini tidak lagi dipergunakan dan hanya dikeluarkan pada tiap 1 Syawal untuk dimandikan.
Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Didalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh [[Pangeran Mas Mochammad Arifin II] (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506. Ia bersemayam di dalem Agung Pakungwati Cirebon. Keraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Ia wafat pada tahun 1549 dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua. Nama beliau diabadikan dan dimuliakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan.
Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu zaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu Masjid Agung Sang Cipta Rasa.
Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar — sekarang adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada masa itu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang, model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di Jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid.
Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, lurah atau pada zaman sekarang disebut pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun.
Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa Cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada zaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529, pada masa pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat bersantai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua gapura dengan motif bentar bergaya arsitek zaman Majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng. Dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451.
saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Subscribe to:
Comments (Atom)

