Tangkolo. Pada abad ke-18 di pinggir sungai Cijolang tumbuh sebatang pohon kayu yang besar dan tinggi serta kokoh berdiri tegak dan pohon besar ini oleh masyarakat setempat disebut pohon Kitangkolo.
Berdasarkan keterangan yang bersumber dari para sesepuh leluhur pendahulu kita istilah Tangkolo diambil dari nama pohon Kitangkolo itu.
Kitangkolo ini nama sejenis pepohonan hutan liar yang tidak sengaja ditanam, tetapi tumbuh secara alamiah di daerah kampung Tangkolo sekarang. Jenis pohon Kitangkolo ini pada waktu itu tidak terdapat di tempat lain kecuali di daerah ini.
Penggunnan nama pohona yang dipakai menjadi nama suatu tempat dimasyarakat Pasundan di masa lampau rupanya sudah menjadi kebiasaan umum, hal ini masih dapat kita lihat sekarang banyaknya kampung-kampung atau tempat tertentu yang ada disekeliling kampung Tangkolo yang menggunakan nama jenis pepohonan seperti :
- Di bagian Selatan terdapat nama : Cimuncang, Cibuluh, Cigintung, Cibitung, Kawung Larang, Karang Pari, Kadu Pandak, Tainiang Ropoh, Kaso dan lain-lain
 - Di bagian Timur terdapat nama : Cikadu, Cipicung, Cikanyere, Tegal Laja, Kembang Lopang, Serang Kole atau Sarang Kole, Kadu Pugur dan lain-lain.
 - Di bagian Utara terdapat nama : Ciawi, Citangkil, Tanggulun, Bungur Sarang, Jati Peundeuy Raweuy, Bulak Caringin, Cigedang dan lain-lain.
 - 4. Di bagian Barat terdapat nama : Kamuning, Kuta Manggu, Selajambe, Kadu Cede, Maja, Majalengka, Jati Wangi, Kandang Haur, Haur Geulis dan lain-lain.
 
Penggunaan tambahan suku kata  "Ci" yang berasal dan kata "cai" di depan nama pepohonan yang digunakan  dalam uraian di atas, biasanya dipergunakan untuk menunjukan nama suatu  sungai atau nama tempat dimana kampung yang dilalui oleh aliran sungai -  atau kampung itu menempel di pinggir sungai yang bersangkutan, seperti :  Ci-gintung adalah nama sungai juga nama kampung.
Meskipun demikian ada juga yang tidak berdekatan apalagi berimpitan seperti kampung Subang tidak berimpit dengan sungai Ci-subang dan gunung subang. Mengenai penempatan perkampungan dipinggir sungai dapat kita pahami karena untuk memudahkan dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk kehidupan masyarakat sehari-hari dan sarana angkutan lalu-lintas sehingga pemukiman diusahakan berdekatan dengan sungai dan sekaligus mengunakan nama sungai tersebut menjadi nama pemukimannya.
Meskipun demikian ada juga yang tidak berdekatan apalagi berimpitan seperti kampung Subang tidak berimpit dengan sungai Ci-subang dan gunung subang. Mengenai penempatan perkampungan dipinggir sungai dapat kita pahami karena untuk memudahkan dalam memenuhi kebutuhan air bersih untuk kehidupan masyarakat sehari-hari dan sarana angkutan lalu-lintas sehingga pemukiman diusahakan berdekatan dengan sungai dan sekaligus mengunakan nama sungai tersebut menjadi nama pemukimannya.
Cikal Bakal Kampung Tangkolo
1. Kiara Beas Dusun Yang Terkubur Waktu
Diperkirakan  pada pertengahan abad ke-17, di wilayah Subang Selatan dimasa lampau  terdapat suatu pemukiman yang paling awal dengan lokasi di Bulakan Kiara  Beas. Pemukiman penduduk di Kiara Beas ini, pada waktu itu di tempati  oleh penduduk yang meiniliki areal usaha pertanian di wilayah sekitar  pemukiman itu. Tempat itu dianggap paling baik karena berbagai  pertimbangan artara lain sebagai berikut :
- Penduduk berusaha mendekati areal pertanian yang cukup luas di bagian Selatan Subang sekaligus dalam rangka menjaga usaha pertanian dari gangguan binatang liar yang merusak tanaman para petani.
 - Para petani ini semula terpencar, memilih tempat tinggal sesuai dengan letak tempat usaha tani masing-masing. Namun dalam perkembangan berikutnya untuk menjaga keamanan tempat tinggal dari gangguan binatang buas, mereka berkumpul di suatu tempat yang disepakati dan memilih dataran bulakan yang tinggi.
 - Tempat pemukiman mereka disebut Kiara Beas yang mengandung arti pohon beringin beras yang membentuk hutan lebat dan diataranya terdapat sebuah pohon yang lebih besar yang biasanya disebut Kiara, dan salah satu pohon besar itu bernama Kiara Beas.
 - Bulakan daerah Kiara Beas ini karena pada awalnya merupakan hutan belukar para perduduk membuat bangunan rumah dengan lantai yang tinggi yang disebut rumah panggung, yaitu bangunan rumah yang tinggi kolongnya sehingga tidak mudah dimasuki binatang liar.
 - Pemukiman ini semakin lama semakm berkembang penduduknya, namun dilain pihak timbul permasalahan baru yaitu meningkatnya tingkat kematian penduduk di pemukiman ini yang disebabkan oleh serangan wabah penyakit dan banyaknya yang mati karena digigit ular berbisa.
 - Karena tingginya tingkat kematian penduduk ini, selanjutnya satu persatu diantara mereka berpindah tempat tinggalnya bahkan akhirnya semua berpindah dari kampung Kiara Beas, bergerak ke arah selatan dan mereka memilih tempat tinggal di pingir sungai Cijolang yang sudah dihuni oleh penduduk.Penduduk Kiara Beas sebagai cikal bakal penduduk kampung Tangkolo, yang bermigrasi dan Subang kemungkinan berasal dari keturunan Wirananggapati yang sudah berasimilasi dengan penduduk setempat. Menurut catatan yang ada Wiranangganati adalah kuwu pertama di Desa Subang yang pada waktu itu disebut Dalem dan beliau menjabat sebagai Kuwu dari tahun 1630-1660.
 
2. Pemukiman Penduduk Di sekitar Gunung Susuh
Diperkirakan  pada abad ke-17, di antara para petani yang berpindah ke arah selatan  ini, ada jaga petani lain yang datang dan Subang Barat sebanyak dua  kepala keluarga dari satu keturunan Pedukuhan Cimanggang, yang memilih  lokasi tinggal di daerah selatan, mereka itu adalah kakak beradik :
- Candradiwangsa memilih tinggal didataran yang agak tinggi di sebelah utara gunung Susuh yaitu di Cidempul sekarang tetapi areal lokasi pertanian yang dipilih di daerah Selatan yang berdekatan dengan sungai Cijolang, kira-kira didaerah pemukiman Tangkolo sekarang.
 - Adiknya yang bemama Candradinata memilih tinggal di sebelah selatan gunung Susuh dan diperkirakan berada di sebelah timur Masjid Al-Furkon Mandalawangi, bahkan menurut penjelasan dari para-sesepuh tepatnya dilokasi bekas rumah Aki Madnawi. Adiknya ini memilih lokasi pertanian di dataran rendah juga, dengan mengambil lokasi dari selatan keaarh utara, memanjang mengikuti sepanjang sungai Ciawi kearah hulu.Perlu ditambahkan di sini bahwa irigrasi penduduk dan Subang Barat ke Daerah sekitar Gunung Susuh, diperkirakan pada masa Kuwu Jayadirana yang menjabat kepala Desa Subang mulai dari tahun 1725-1755 dan kuburan beliau berada di makam Cimanggang.
 
3. Pemukiman Penduduk Di Pingir Sungai Cijolang
Di  pinggir sungai Cijolang di areal yang berbatasan dengan wilayah Ciamis,  ada juga rumah pmduduk, di tempat yang banyak ditumbuhi pohon-pohonan  yang besar, dan diantaranya ada salah satu pohon terbesar dan tertinggi  yang disebut pohon Kitangkolo.Lokasi tempat pohon Kitangkolo ini  diperkirakan berada diantara pemukiman Tangkolo sekarang dan Sungai  Cigintung. Kemungkinan berada pada areal pesawahan di sebelah timur  jembatan penghubung antara Cigintung dan Bantar Dengdeng.
4. Pergeseran Pemukiman Para Petani
Rupanya  akibat adanya pergeseran tempat tinggal, yang mulanya hanya satu dua  rumah saja akhirnya seluruh pemukim berpindah semua dari Kiara Beas.  Menuju kearah Selatan secara keseluruhan. Maka terjadilah penggabungan  penduduk. Pengabungan ini bukan hanya dari Kiara Beas, tetapi diikuti  pula oleh penduduk yang terpencar di beberapa kelompok lainnya, yang  tadinya terpisah dan bertebaran, berhimpun kedalam satu kelompok yang  berada di wilayah selatan semua. Akhimya para pemukim gabungan yang  semula bertebaran ini merjadi satu kesatuan kelompok penduduk dan  menjadi cikal bakal peaduduk kampung Tangkolo.
5. Terbentuknya Kampung Tangkolo
a. Penduduk Awal Kampung Tangkolo.
Diperkirakan  pada awal abad Ke-18 pemukiman para petani yang berdekatan dengan  sungai Cijolang yang selanjutnya oleh penduduk setempat disebut Kampung  Tangkolo ini baru dihuni tujuh kepala keluarga. Ketujuh kepala keluarga  ini kemungkinan berasal dari satu keluarga kehidupan mereka  sehari-harinya adalah bertani dengan kebudayaannya adalah Islam, karena  agama yang dianut oleh mereka adalah agama Islam.
b. Buyut Jamudin
Berdasarkan  cerita yang dituturkan oleh para orang tua, pada suatu waktu Kampung  Tangkolo kedatangan seorang tamu yang mengaku bernama Jamudin.  Selanjutnya Jamudin itu menjadi penduduk Kampung Tangkolo karena tidak  kembali palang lagi ke kampung asalnya, bahkan beliau menikah dengan  penduduk Kampung Tangkolo.Menurut jangakuan Jamudin, dia berasal dan  Kesultanan Cirebon, tetapi sebagian orang tua menyatakan bahwa Jamudin  itu sebenamya berasal dari Mataram. Kalau berasal dan keturunan Mataram,  ada kemungkinan keturunan dan sisa-sisa laskar Sultan Agung Mataram  yang bertebaran di sepanjang pantai utara Jawa Barat. Para laskar  pejuang Mataram yang tidak kembali ini di dalam sejarah dinyatakan bahwa  mereka mendapat perlindungan dari Sultan Cirebon. Sisa-sisa laskar  Sultan Agung yang mendapat perlindungan Sultan Cirebon ditempatkan  disuatu tempat pemukiman yang telah ditentukan oleh Sultan, antara lain  di Kecamatan Gegesik sekarang dekat wilayah Palimanan Cirebon.Jamudin  rupanya termasuk pemuda yang tinggi ilmunya, mempunyai beberapa  keistimewaan, diantaranya punya ilmu pelindung diri yaitu ilmu kekebalan  tubuh dan dapat menghilang dengan cepat apabila bertemu dengan musuhya.  Jamudin ini selanjutnya di kemudian hari, di masyarakat dikenal dengan  nama Buyut Jamudin. Rupanya beliau adalah salah seorang diantara  kelompok orarig yang memberontak kepada Pemerintah Kolonial Belanda.  Sehingga beliau senantiasa dikejar dan dicari serta di ikuti kemanapun  dia pergi dan diawasi segala sepak terjangnya. Oleh karena itu  kedatangannya di Kampung Tangkolo rupanya dalam rangka menyembunyikan  dirinya dari kejaran Pemerintah Kolonial Belanda.Setelah sekian lama  Jamudin bersembunyi di Kampung Tangkolo akhirnya Pemerintah Kolonial  Belanda dengan segala daya upaya dapat mencium keberadaannya sehingga  Pemerintah Kolonial Belanda yang ada di wilayah Kabupaten Ciamis  berusaha masuk ke Kampung Tangkolo dengan cara diam-diam untuk mencoba  menangkap Jamudin.Sebelum Belanda datang Jamudin sebenarnya sudah  mempunyai firasat akan ditangkap oleh Belanda karena dia pernah berkata  kepada teman-temannva bihwa Kita akan kedatangan tamu yaitu Belanda dan  akan menangkap dirinya. Jamudin berpesan kepada para pemuda teman-teman  sejawatnya, atas kedatangan Belanda ini kita sambut dengan baik-baik  saja, tidak boleh menggunakan kekerasan karena kita tidak akan mampu  memberikan perlawanan.
Sesuai  dengan perkiraan yang sudah menjadi firasat Jamudin, Belanda datang dari  arah selatan dari Kabupaten Ciamis. Jamudin tentu saja sudah siap  menghadapi Belanda dengan menggunakan segala ilmu yang dimilikinya,  antara lain membaca mantra-mantra untuk memainkan ilmu dalamnya dan  sekaligus memakai baju Kere warisan yang dimiliki dari leluhurnya,  sehingga Jamudin dapat menghilang dengan cepat dan tidak dapat dilihat  oleh Belanda serta selamatlah beliau dan kejaran musuh.Pemerintah  Belanda merasa kecewa karena gagalnya menangkap tokoh Jamudin yang sudah  diyakini oleh mereka keberadaannya di Kampung Tangkolo. Meskipun  demikian Jamudin tetap sebagai musuh yang dicari dan harus ditangkap  karena dimanapun dia berada akan merugikan Pemerintah Kolonial Belanda.  Segala kegiatannya selalu di cungai karena selalu mengobarkan perjuangan  untuk melawan Belanda dengan segala cara, termasuk mengerahkan  masyarakat dalam setiap kesempatan dengan segala cara yang licin dan  halus serta diyakini oleh para pemuda kebenaran ucapannya. Mereka  dipersiapkan secara matang, apabila disuatu saat sudah mempunyai  kekuatan kita bersama-sama akan berjuang dengan pemuda-pemuda lainnya di  luar kampung Tangkolo untuk melawan kepada penjajah Belanda.Pada akhir  masa tuanya Jamudin merasa bahwa mungkin umurnya sudah tidak seberapa  lama lagi oleh karena itu ilmu yang dimilikinya harus segera dilepaskan  dari dirinya dan diwariskan kepada anak-anaknya, serta anak buahnya,  sebagai bekal untuk perjuangan melawan penjajah Belanda. Namun demikian  salah satu diantara senjata yang dimilikinya yaitu yang disebut baju  Kere tidak diberikan kepada siapapun, sebab baju ini tidak boleh  diwariskan kepada sembarang orang, yang menurut penilaian beliau belum  pantas memiliki senjata warisannya.Di saat-saat Buyut Jamudin sudah  lanjut usia dan keadaan fisiknya juga sudah lemah serta merasa dirinya  sudah sangat aman dari intaian pemerintah Belanda, maka kewaspadaan dan  keteguhan untuk tetap memegang senjata baju Kere itu agak mengendur.  Dalam kondisi fikiran dan fisik tokok Buyut Jamudin yang sakit-sakitah,  pada suatu hari Buyut Jamudin kedatangan seorang tokoh masyarakat dari  dusun tetangga diseberang sungai Cijolang, yang menyatakan hasrat  dirinya ingin memiliki baju Kere yang menjadi senjata Buyut Jamudin,  untuk digunakan sebagai alat bela diri dalam melanjutkan perjuangan  Buyut Jamudin menghadapi gangguan dari penjajah Belanda.Tamu itu datang  menghadap beliau dengan penuh rasa hormat, di samping menyatakan  kesiapan untuk melanjutkan perjuangan Buyut Jamudin., juga mengajukan  penawaran kepada Buyut Jamudin, bahwa sebagai ungkapan rasa terima kasih  dan tanda hormat serta penghargaan, yang bersangkutan akan menyerahkan  tujuh ekor kerbau miliknya kepada Buyut Jamudin, apabila baju Kere milik  Buyut diberikan kepadanya. Buyut Jamudin dengan senang hati dan tulus  ikhlas menyerahkan Baju Kere dan bersedia menerima imbalan jasa yang  ditawarkan, disertai dengan amanat Buyut Jamudin bahwa baju kere ini  tidak boleh dipergunakan oleh sembarangan orang, karena hanya boleh  digunakan oleh petinggi negara apabila dalam keadaan terpaksa karena  mendapat gangguan keamanan bagi dirinya.Berita tukar menukar baju Kere  dengan tujuh ekor kerbau ini pada akhirnya ternyata sampai terdengar  oleh Pemerintah Kolonial Belanda di Ciamis sehingga dengan dilepaskannya  baju Kere oleh Buyut Jamudin, Belanda mengetahui kelemahan diri Buyut  Jamudin. Karena itu pihak Belanda menemukan jalan dan berani untuk  menangkap Buyut Jamudin yang selama ini telah menjadi buronan agar  segera dapat ditangkap.Pada saat yang bersamaan Pemerintah Kolonial  Belanda di Ciamis mendapat laporan bahwa salah seorang penduduk tetangga  Kampung Tangkolo ada yang kehilangan dua ekor kerbau. Pemerintah  Kolonial Belanda dengan segala cara mengerahkan orang-orang  kepercayaannya untuk menargkap pencurinya. Setelah dicari kemana-mana  ternyata dua ekor kerbau yang hilang ini ada di ikat di kandang kerbau  Buyut Jamudin, sehingga jumlah kerbau yang ada di tempat Buyut Jamudin  bukan tujuh ekor kerbau lagi melainkan menjadi sembilan ekor. Bekas  kandang kerbau Buyut Jamudin di perkirakan terletak di Sawah Cibanjar  Sekarang.Bertambahnya dua ekor kerbau yang disebut hasil curian itu,  mungkin hanya siasat pemerintah Belanda untuk memudahkan penangkapan,  dengan cara menyuruh pencuri bayaran untuk menyelundupkan dua ekor  kerbau ke kandang Buyut Jamudin.Kondisi Buyut Jamudin saat itu sudah  tidak bisa menghilang lagi seperti pada peristiwa penangkapan dulu,  karena semua ilmu kekebalannya sudah dilepas dari dirinya dan diwariskan  kepada putra-putra dan pengikutnya termasuk baju Kere yang menjadi  andalannya sudah di serahkan kepada orang lain sehingga pemerintah  Belanda dengan mudah dapat menangkapnya.Buyut Jamudin tidak mengaku  mencuri dua ekor kerbau, karena memang beliau tidak merasa mencuri  tetapi pemerintah Belanda yang sudah lama mengejar Jamudin untuk  menangkap dan menjebloskannya kedalam penjara bersikukuh tetap  menyalahkan Buyut Jamudin. Bukti dan fakta pencurian, adanya dua ekor  kerbau itu sudah merupakan alasan kuat untuk menangkapnya sehingga para  pengikutnya sulit untuk membela Buyut Jamudin dan tidak bisa lagi  menyalahkan Pemerintah Kolonial Belanda.Buyut Jamudin setelah ditangkap  dan diadili di pengadilan Belanda di Ciamis dijatuhi hukuman dengan cara  di buang ke Batavia, agar terputus hubungannya dengan para pendukung  beliau. Sebagian orang tua menyatakan bahwa Buyut Jamudin di bawa ke  Batavia itu untuk selanjutnya akau dibuang ke luar Jawa. Namun setelah  sampai di Batavia, Buyut Jamudin dengan menggunakan kemampuan ilmunya  yang masih tersisa, masih bisa meloloskan diri dari tahanan Belanda dan  akhirnya bersembunyi di pelabuhan Sunda Kelapa. Tetapi karena keadaan  Buyut Jamudin sudah terlalu tua dan sering sakit-sakitan, beliau tidak  lama di persembunyiannya dan akhinya meninggal dunia di daerah Sunda  Kelapa dan menurut penuturan para sesepuh, jenazahnya dimakamkan di Luar  Batang.Pemberian hukuman kepada para pejuang dengan cara membuang ke  tempat yang jauh dari masyarakat lingkungannya, sudah merupakan  kebiasaan Pemerittah Kolonial Belanda pada waktu itu, seperti tokoh  Kuningan yang dibuang ke Batavia sampai akhir hayatnya meninggal dan  dimakamkan di Batavia, sehingga sampai sekarang bekas tempat  pembuangannya di sebut Kuningan di wilayah kotamadya Jakarta Selatan.
Pelataran KampungTangkolo 
Sebagaimana telah kita maklumi  bersama bahwa Tangkolo pada awalnya adalah sebuah kampung yang menjadi  bagian dari desa Subang, berada di dataran rendah dengan pelatarannya  yang rata dan hampir seluruh tanah perkampungannya mcngandung pasir  berlumpur batu kerikil sungai, karena kampung ini dikelilingi oleh  sungai. Di musim hujan tanahnya tidak terlalu becek disebabkan oleh  kuatnya daya serap pasir terhadap genangan air.Letak kampung Tangkolo  berada di pinggir sungai besar, pada musim hujan sering terjadi banjir  akibat luapan air sungai, bahkan sering terjadi banjir meskipun di  tempat ini tidak ada hujan, banjir yang seperti ini di sebut banjir  bandang atau banjir kiriman yang diakibatkan karena terjadi hujan lebat  di bagian hulu sungai, di masyarakat setempat disebutnya Caah Lengdeng,  istilah ini masih menempel pada nama suatu kampung yang berdekatan yaitu  Bantar Dengdeng.Jika dihhat dan segi jumlah penduduk dan luasnya  kampung, pada waktu itu masih merupakan suatu pemukiman kecil yang masih  sedikit penduduknya, dan merupakan salah satu perkampungan di bagian  selatan desa Subang. Secara geografis letaknya terpencil paling selatan  dengan jarak tempuh yang paling jauh dan ibukota desa saat itu sehingga  sulit untuk dijangkau karena harus ditempuh dengan berjalan kaki. turun  naik, berliku-liku melalui hutan-hutan lebat dan pegunungan yang  memanjang dari utara ke selatan. Selain itu hanya dapat ditempuh melalui  jalur sungai Cijolang dengan mengikuti aliran air sungai dari hulu ke  hilir.Kampung Tangkolo sebagai bagian dari Desa Subang yang paling  Selatan ini merupakan satu hamparan daratan yang dilalui oleh sungai  Ciawi dan Citangkil disebelah timur dan dilingkari oleh sungai Cijolang  mulai dari sebelah Barat dan berbelok kesebelah selatan yang menjadi  batas alam antara Kabupaten Kuningan dengan Kabupaten Ciamis.Karena  kondisi kampung Tangkolo seperti di atas maka tidak heran kalau kampung  ini merupakan satu-satunya kampung yang dianggap paling rata tanahnya,  paling bersih, tertutup pasir sungai dan paling indah di lingkar wilayah  desa Subang di bagian Selatan.Kondisi permukaan bumi kampung Tangkolo  pada masa itu merupakan dataran rendah yang hijau yang ditumbuhi  pohon-pohonan yang tumbuh alami, berada di sebuah lembah pegunungan yang  diapit oleh sungai kecil dan besar bagaikan tanjung ditengah daratan  yang menjorok jauh dan Utara ke daratan Selatan yang masuk wilayah  Ciainis. Tanjung di daratan ini dibingkai oleh suatu pantai pasir sungai  seperti pantai di laut dangkal yang dikelilingi oleh air sungai yang  keruh dimusim penghujan dan dikelilingi air bersih yang bening dikala  musim kemarau datang.Apabila dilihat dari dataran tinggi yang ada di  atas sekelilingnya, sungai Cijolang bagaikan ular raksasa yang sedang  tidur nyenyak dengan melingkar-lingkar melengkung membelit pelataran  hutan wilayah Tangkolo, dengan kepala ada digupitan Ranto dan ekornya  menjulur panjang berliku-liku ke arah Utara.
ket : Dikutip dari warta desta.  



 































